Sabtu, 10 Desember 2011

UU Trafficking

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang:

a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak  asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh  undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negaraepublik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas;

c. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap  hak asasi manusia;

d. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;

e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam  huruf a, huruf b,huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;


Mengingat:

1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang  Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The  Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 4235);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG.


BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,  pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

3. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

4. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

6. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

7. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau  mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

8. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ  tubuh lain dari korban untuk endapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

9. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.

10. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.

11. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa  menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.

12. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.

13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

14. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang  yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.


BAB II
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2

(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,  pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan  paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang  tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 3

Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia  dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 4

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara  Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan  paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 5

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau  memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 6

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 7

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah  1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).


Pasal 8

(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan  terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.


Pasal 9

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).


Pasal 10

Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.


Pasal 11

Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.


Pasal 12

Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.


Pasal 13

(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.


Pasal 14

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.


Pasal 15

(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/atau
e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.


Pasal 16

Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).


Pasal 17

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).


Pasal 18

Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.


BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


Pasal 19

Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain,  untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).


Pasal 20

Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).


Pasal 21

(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


Pasal 22

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara  langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Pasal 23

Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:

a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c. menyembunyikan pelaku; atau
d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Pasal 24

Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).


Pasal 25

Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.


Pasal 26

Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.


Pasal 27

Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.

BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN


Pasal 28

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 29

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.


Pasal 30

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.


Pasal 31

(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.

(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.


Pasal 32

Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang.


Pasal 33

(1) Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

(2) Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.


Pasal 34

Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.


Pasal 35

Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan.


Pasal 36

(1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.

(2) Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.


Pasal 37

(1) Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.

(2) Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang.

(3) Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan setelah
kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan.


Pasal 38

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.


Pasal 39

(1) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup.

(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya.

(3) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.


Pasal 40

(1) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.


Pasal 41

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.

(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.


Pasal 42

Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya.

BAB V
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN


Pasal 43

Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.


Pasal 44

(1) Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.


Pasal 45

(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Pasal 46

(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 47

Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.


Pasal 48

(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.

(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.

(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.

(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.


Pasal 49

(1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.

(2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

(3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.


Pasal 50

(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.

(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.

(3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.

(4) Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.


Pasal 51

(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

(2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.


Pasal 52

(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.

(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintahdan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial  atau pusat trauma.

(3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.


Pasal 53

Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.


Pasal 54

(1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.

(2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.

(3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional.


Pasal 55

Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN


Pasal 56

Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.


Pasal 57

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya
tindak pidana perdagangan orang.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.


Pasal 58

(1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.

(2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/ akademisi.

(3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.

(4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas:
a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama;
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.

(5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden.

(6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN
PERAN SERTA MASYARAKAT


Bagian Kesatu
Kerja Sama Internasional


Pasal 59

(1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat


Pasal 60

(1) Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.


Pasal 61

Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.




Pasal 62

Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum.


Pasal 63

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 64

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 65

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia lI Nomor 9) jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958  tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan  Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27  Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan  dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 66

Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.


Pasal 67

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

_____________________________________

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd. HAMID AWALUDIN



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 58

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


I. UMUM
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia.  Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.

Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang
memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara.

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah  diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83  Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual.

Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak  tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus.

Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, danmengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga.

Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 3
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa wilayah negara Republik Indonesia adalah sebagai negara tujuan atau transit.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Yang dimaksud dengan frasa “pengiriman anak ke dalam negeri” dalam ketentuan ini adalah pengiriman anak antardaerah dalam wilayah negara Republik  Indonesia.

Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “luka berat” dalam ketentuan ini adalah:
a. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut;
b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;
c. kehilangan salah satu pancaindera;
d. mendapat cacat berat;
e. menderita sakit lumpuh;
f. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut; atau
g. gugur atau matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam ketentuan ini adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota  Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik  yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang. Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kekuasaan” dalam ketentuan ini adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, dan/atau pelarangan pengurus tersebut mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang  sama” dalam ketentuan ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kelompok yang terorganisasi” adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Yang dimaksud dengan “dipaksa” dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan di mana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

Pasal 19
Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah. Yang dimaksud dengan “dokumen lain” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “petugas di persidangan” adalah hakim, penuntut umum, panitera, pendamping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ketentuan ini berlaku juga bagi pemberitahuan identitas korban atau saksi kepada media massa.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Dalam ketentuan ini, korban tetap memiliki hak tagih atas utang atau perjanjian jika pelaku memiliki kewajiban atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Yang dimaksud dengan “data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik” dalam ketentuan ini misalnya: data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya seperti:

a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;

b. catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau

c. dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Yang dimaksud dengan “penyedia jasa keuangan” antara lain, bank, perusahaan efek, reksa dana, kustodian, dan pedagang valuta asing.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Yang dimaksud dengan “pendamping lainnya” antara lain psikolog, psikiater, ahli kesehatan, rohaniwan, dan anggota keluarga.

Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “informasi tentang perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta putusan pengadilan.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud “perekaman“ dalam ayat ini dapat dilakukan dengan alat rekam audio, dan/atau audio visual.
Ayat (2)
Yang dimaksud “pejabat yang berwenang“ adalah penyidik atau penuntut umum.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Ketentuan ini dimaksudkan untuk:
a. memungkinkan bahwa terdakwa yang melarikan diri mengetahui putusan tersebut; atau
b. memberikan tambahan hukuman kepada terdakwa berupa “pencideraan nama baiknya” atas perilaku terdakwa yang tidak kooperatif dengan proses hukum.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan.
Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kerugian lain” dalam ketentuan ini misalnya:
a. kehilangan harta milik;
b. biaya transportasi dasar;
c. biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; atau
d. kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Dalam ketentuan ini, penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi.

Ayat (6)
Restitusi dalam ketentuan ini merupakan pembayaran riil (faktual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi kesehatan” dalam ketentuan ini adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” dalam ketentuan ini adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” dalam ketentuan ini adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benarbenar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh korban atau kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial, dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.

Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini, pembentukan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dengan memperhatikan asas prioritas. Dalam hal daerah telah mempunyai rumah perlindungan sosial atau pusat trauma, maka pemanfaatan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma perlu dioptimalkan sesuai dengan Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perwakilannya di luar negeri” dalam ketentuan ini adalah kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya yang sesuai peraturan perundang-undangan menjalankan mandat Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi  permasalahan hukum diluar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 55
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lain” dalam ketentuan ini mengacu pula pada undang-undang yang mengatur perlindungan saksi dan/atau korban.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang menjalankan urusan antara lain, di bidang pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan, hukum dan hak asasi manusia, komunikasi dan informasi. Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” dalam ketentuan ini meliputi provinsi dan kabupaten/kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penanganan” meliputi antara lain, kegiatan pemantauan, penguatan, dan peningkatan kemampuan penegak hukum dan para pemangku kepentingan lain.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Republik Indonesia” dalam ketentuan ini adalah pejabat yang oleh Presiden diberikan kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bantuan timbal balik dalam masalah pidana” dalam ketentuan ini misalnya:
a. pengambilan alat/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang;
b. pemberian dokumen resmi dan catatan hukum lain yang terkait;
c. pengidentifikasian orang dan lokasi;
d. pelaksanaan permintaan untuk penyelidikan dan penyitaan dan pemindahan barang bukti berupa dokumen dan barang;
e. upaya pemindahan hasil kejahatan;
f. upaya persetujuan dari orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan oleh pihak peminta dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur pemindahan sementara ke pihak peminta;
g. penyampaian dokumen;
h. penilaian ahli dan pemberitahuan hasil dari proses acara pidana; dan
i. bantuan lain sesuai dengan tujuan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” dalam ketentuan ini dapat berupa
perlindungan atas:
a. keamanan pribadi;
b. kerahasiaan identitas diri; atau
c. penuntutan hukum sebagai akibat melaporkan secara bertanggung jawab tindak
pidana perdagangan orang.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4720

Kamis, 08 Desember 2011

Asas Hukum Perjanjian Perkawinan

Dalam Hukum Perdata Barat atau kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) sudah ada pasal-pasal yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan secara khusus, namun ada kalanya perlu penafsiran secara umum terhadap peristiwa dan hubungan hukum yang baru apabila pada ketentuan yang khusus belum ditemukan peraturannya sehingga diperlukan asas hukum yang berlaku umum, seperti halnya dengan perjanjian perkawinan ini maka akan mengacu pada buku ketiga tentang perikatan yaitu pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian dengan memenuhi 4 unsur :

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Suatu hal tertentu.
Suatu sebab yang halal.
Unsur kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak (no.1 dan 2) di atas merupakan syarat subjektif, sedangkan unsur suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (no.3 dan 4) merupakan syarat objektif.

Kemudian untuk isi suatu perjanjian ada asas kebebasan berkontrak yang bisa dipakai untuk memperjanjikan apa saja dan tentang apa saja perbuatan hukum yang perlu bagi suami isteri ketika perkawinan berlangsung.

Selanjutnya untuk pelaksanaan perjanjian perkawinan setelah terjadinya suatu perkawinan antara suami isteri tersebut maka tergantung pada itikad baik kedua belah pihak terhadap apa isi dari hal-hal yang diperjanjikan tersebut.

Perjanjian perkawinan ini lebih sempit dari pada perjanjian secara umum karena bersumber pada persetujuan saja dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, tidak termasuk pada perikatan / perjanjian yang bersumber pada Undang-undang.

Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta kekayaan antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan dipihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan perkawinan berarti pula melanggar perjanjian maka merupakan hal yang sangat jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan ditanggung / resiko bila salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, biasanya ada sanksi yang harus diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian perkawinan tersebut.

Sedangkan menurut hukum Islam mengutip pendapat Gatot Supramono : Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.

Persamaannya antara hukum BW dan hukum Islam adalah dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, kalau menurut BW harus dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan menurut hukum Islam cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan dilangsungkan, demikian menurut BW, sedangkan menurut hukum Islam berlaku mengikat terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam klausula / diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut.

Minggu, 04 Desember 2011

HUKUM "PERIKATAN"

Hukum Perikatan/ Perjanjian§ Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa. Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu pokok persoalan tertentu. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.   Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.   Tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.   Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah. Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil. Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga . Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda. Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu : 1. Perjanjian Konsensuil Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian. 2. Perjanjian Riil Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. 3. Perjanjian Formil Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu. Perikatan hapus:
1. pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan 3. pembaruan utang
4. perjumpaan utang atau kompensasi
5. percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang
6. kebatalan atau pembatalan
7. berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu. Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri. Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang: 1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama. 2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama. 3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama. Pembaharuan utang hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perikatan. Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut . Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama. Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri si penanggung utang, sekali-kali tidak. Pembebasan suatu utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk surat piutang di bawah tangan yang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan juga terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung. Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka. HUKUM DAGANG Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUH Perdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis derogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan,  HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Undang-undang_Hukum_Dagang&action=edit&redlink=1" \o "Kitab Undang-undang Hukum Dagang (belum dibuat)" µKitab undang-undang hukum dagang§ (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata. KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal. Hukum Dagang di Indonesia bersumber pada : hukum tertulis yang dikodifikasi yaitu : KUHD KUH Perdata hukum tertulis yang tidak dikodifikasi, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan, misal UU Hak Cipta. Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam KUH Perdata yaitu tentang Perikatan, seperti jual-beli,sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Secara khusus materi hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam KUHD dan KUH Perdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus yang belum dikodifikasi seperti tentang koperasi, perusahaan negara, hak cipta dll. Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.   Bentuk-bentuk Perusahaan Dalam suatu usaha swasta, modal usahanya dimiliki seluruhnya atau sebagian besar oleh pihak swasta. Usaha swasta ini dilihat dari besar kecilnya skala usaha terdiri dari usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar. Usaha swasta jumlahnya paling banyak jika dibandingkan dengan usaha negara dan usaha koperasi. Oleh karena itu, perannya cukup besar di dalam perekonomian nasional. Usaha swasta dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk usaha/organisasi perusahaan, yaitu : 1. Perusahaan Perorangan/Usaha Dagang (UD) a. Pengertian Perusahaan Perorangan/Usaha Dagang (UD) yang merupakan bentuk usaha paling sederhana adalah usaha swasta yang pengusahanya satu orang. Yang dimaksud dengan pengusaha di sini adalah pemilik perusahaan. Modal atau investasi yang dimaksud dapat berupa uang, benda, atau tenaga (keahlian), yang semuanya bernilai uang. Kemungkinan, bahkan sering terjadi, di dalam operasionalnya sebuah perusahaaan perorangan melibatkan banyak orang. Orang-orang tersebut merupakan pekerja atau buruh, sedangkan pengusaha atau pemilik perusahaan tetap jumlahnya tunggal. Artinya, yang bertanggung jawab, menanggung risiko, dan menikmati keuntungan hanya satu orang saja, sedangkan yang lainnya adalah orang yang bekerja di bawah pimpinan pengusaha dengan menerima upah. Bentuk usaha perorangan memiliki kelebihan dalam hal pengambilan keputusan dan bertindak cepat untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Kelemahannya adalah dari segi pengumpulan modal yang besar untuk menghadapi berbagai persaingan dan peluang bisnis. b. Pengaturan Belum terdapat pengaturan yang resmi dalam satu perundang-undangan khusus tentang usaha dagang. Namun dalam praktek keberadaannya diakui masyarakat. Berbagai perundang-undangan di bidang perpajakan, perizinan, dan lain-lain juga menyebutkan adanya bentuk usaha tersebut walaupun tidak mengaturnya secara terinci. Oleh karena itu, sumber hukumnya adalah kebiasaan dan jurisprudensi. Di luar negeri bentuk usaha dagang tersebut juga diakui keberadaannya, sebagai one man corporation. Di Inggris dinamakan sole trader dan di Amerika Serikat dinamakan sole proprietorship. c. Pendirian Karena belum diatur dalam undang-undang, maka tata cara pendirian usaha dagang ini cukup sederhana. Tidak ada keharusan untuk membuat dalam bentuk tertulis dengan akta notaris. Dalam hal ini diserahkan kepada pengusaha itu untuk menentukannya sendiri apakah cukup didirikan secara lisan, dengan akta di bawah tangan, atau dengan akta notaris (akta otentik). Walaupun demikian, dalam praktek usaha dagang seringkali didirikan dengan membuat akta notaris. Pendirian dengan akta notaris ini memang lebih baik untuk kepentingan pembuktian. Setelah usaha dagang terbentuk dengan atau tanpa akta notaris,terdapat beberapa kewajiban hukum lainnya yang harus dilakukan pengusaha supaya dapat beroperasi di lapangan. Kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Memperoleh Tanda Daftar Perusahaan (TDP) pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. 2. Memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau surat izin usaha industri, sesuai dengan bidang usahanya, pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan . 3. Memperoleh Surat Izin Tempat Usaha (SITU) melalui pemerintah daerah setempat sesuai dengan peraturan daerah di lokasi usaha. 4. Memperoleh izin berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonnantie=HO Stb 1926 No.226) atau melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan lingkungan hidup. HO dan AMDAL hanya diperlukan untuk bidang usaha tertentu yang dapat membahayakan lingkungan. d. Tanggung Jawab Pengusaha yang mendirikan usaha dagang bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala risiko usaha dan terhadap pihak kreditur perusahaan. Tanggung jawab pribadi terhadap segala perikatan perusahaan tersebut melekat dengan seluruh kekayaan (hak milik) pribadi yang ada pada pengusaha tersebut. Di sini tidak ada pemisahan antara harta kekayaan perusahaan (Usaha Dagang) dengan harta kekayaan pribadi pemilik perusahaan. 2. Persekutuan Perdata a. Pengertian Persekutuan perdata merupakan bentuk usaha perkumpulan yang paling sederhana. Persekutuan Perdata adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih, masing-masing memasukkan modal untuk menjalankan suatu usaha. Kelebihan Persekutuan perdata dibandingkan usaha dagang adalah dalam pengumpulan modal, sedangkan kelemahannya pada penonjolan kemampuan pribadi para pengusaha dan pada kepemimpinan/kepemilikan ganda yang membuka kemungkinan timbulnya perselisihan. b. Pengaturan Persekutuan perdata diatur dalam Pasal 1618 -1652 KUH Perdata. c. Pendirian Persekutuan Perdata didikan atas dasar perjanjian saja, dan tidak mengharuskan adanya syarat tertulis, artinya dapat didirikan dengan lisan saja. d. Tanggung Jawab Apabila seorang sekutu mengadakan hubungan dengan hukum dengan pihak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas perbuatan perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun dia mengatakan bahwa perbuatannya untuk kepentingan sekutu, kecuali jika sekutu-sekutu lainnya memang nyata-nyata memberikan kuasa atas perbuatannya. Contohnya anggota Persekutuan Perdata ABC yang sekutunya terdiri dari Ali, Badu, dan Cecep, maka semuanya dapat bertindak ke luar atas nama atau untuk kepentingan Persekutuan perdata ABC tersebut. Apabila seorang saja bertindak, katakanlah A terhadap ketiga misalnya Danu, maka maka A sajalah yang bertanggung jawab kepada Danu, kecuali A dalam perbuatannya tersebut nyata-nyata mendapatkan kuasa dari Badu dan Cecep. e. Berakhirnya Persekutuan Perdata Persekutuan Perdata berakhir/ bubar apabila : 1. waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, 2. barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai 3. seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia, 4. dan lain-lain 3. Persekutuan Firma (Fa) a. Pengertian Fa merupakan suatu persekutuan. Dikatakan persekutuan karena pengusahanya merupakan sekutu (partner) yang lebih dari satu orang. Fa adalah tiap persekutuan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah satu nama bersama dan bertanggung jawab secara tanggung menanggung. Kelebihan Fa dibandingkan Persekutuan Perdata adalah Fa lebih terbuka atau terang-terangan terhadap pihak ketiga, sehingga akan mendapatkan kepercayaan yang lebih dibanding Persekutuan Perdata yang dianggap usaha perseorangan oleh pihak ketiga. b. Pengaturan Fa diatur dalam KUHD Pasal 16 - 35 KUHD. Di samping itu, terdapat pula beberapa ketentuan yang relevan di dalam KUH Perdata, antara lain ketentuan tentang persekutuan perdata dan perikatan. c. Pendirian Firma harus didirikan dengan akta notaris, namun demikian jika Fa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga, pendirian tanpa akte notaris pun telah dianggap berdiri. Kemudian Akta pendirian tersebut harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan melalui Berita Negara. Apabila pembuatan akta, pendaftaran, dan pengumuman selesai dilakukan, Fa tersebut telah berdiri dan untuk menjalankan operasi bisnis masih perlu melengkapi dengan beberapa izin dan persyaratan lainnya sebagaimana telah diuraikan pada usaha dagang, antara lain daftar perusahaan, SIUP, SII, SITU, dan HO/AMDAL. d. Tanggung Jawab Setiap sekutu Fa dapat melakukan perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk dan atas nama perseroan, tanpa perlu adanya surat kuasa khusus dari sekutu lainnya. Misalnya, Fa ABC yang sekutunya terdiri dari Ali, Badu, dan Cecep, maka semuanya dapat bertindak ke luar atas nama atau untuk kepentingan Fa ABC tersebut. Apabila seorang saja bertindak, katakanlah A, maka secara hukum juga mengikat B dan C. Artinya, pihak ketiga, misalnya D, apabila merasa dirugikan oleh A ia dapat menggugat baik A, B maupun C sendiri-sendiri atau ketiganya di pengadilan. Tanggung jawab demikian dinamakan tanggung jawab renteng atau tanggung menanggung atau tanggung jawab solider. Harta kekayaan yang dapat digugat tidak terbatas hanya pada harta kekayaan perusahaan (Fa) saja, tetapi meliputi juga karta kekayaan pribadi masing-masing pengusaha tersebut. Misalnya kekayaan yang ada di rumah atau di tempat lainnya. e. Berakhirnya Firma Firma dianggap bubar apabila : 1. waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, 2. barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai 3. seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia, Dalam prakteknya, pengunduran sendiri seorang anggota tidak selalu membuat firma menjadi bubar. Sering kita lihat bahwa seorang anggota firma yang mundur digantikan oleh orang lain dengan tetap mempertahankan firma yang ada. Pasal 31 KUHD mengatur bahwa pembubaran firma sebelum waktu yang ditentukan (karena pengunduran diri atau pemberhentian) harus dilakukan dengan suatu akte otentik, didaftarkan pada Pengadilan Negeri, dan diumumkan dalam Berita Negara. Apabila hal ini tidak dilakukan maka firma tetap dianggap ada terhadap pihak ketiga. Pasal 32 KUHD mengatur cara penyelesaian pembubaran, yaitu dilakukan atas nama perseroan oleh anggota-anggota yang telah mengurus perseroan, kecuali apabila ditunjuk orang lain dalam akte pendirian atau persetujuan kemudian, atau semua pesero (berdasarkan suara terbanyak) mengangkat seseorang untuk menyelesaikan pembubaran. KUHD tidak mengatur tugas-tugas mereka, hal itu diserahkan kepada para pesero. Pasal 1802 KUHPer mengatur bahwa orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan pembubaran harus mempertanggung jawabkan segala usaha dan hasil-hasilnya kepada para pesero dan berkewajiban mengganti kerugian apabila perseroan menderita kerugian karena perbuatannya. Setelah urusan dengan orang yang ditugaskan ini selesai, maka pembagian kepada para pesero dapat dilakukan. Selama proses pembubaran, firma masih berjalan sehingga proses likuidasi benar-benar selesai. Kelebihan dari likuidasi adalah laba, dan apabila terjadi kekurangan maka itu adalah kerugian. Apabila suatu firma jatuh pailit, maka seluruh anggotanya pun jatuh pailit karena hutang-hutang firma juga menjadi hutang-hutang mereka yang harus ditanggung sampai dengan kekayaan pribadi. 4. Persekutuan Komanditer/Commanditaire Vennottchap (CV) a. Pengertian CV merupakan persekutuan terbuka yang terang-terangan menjalankan perusahaan, yaitu di samping satu orang atau lebih sekutu biasa yang bertindak sebagai pengurus, mempunyai satu orang atau lebih sekutu diam yang bertanggung jawab atas jumlah pemasukannya . CV merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk usaha Fa. Di dalam CV ini masih terdapat ciri Fa yang melekat pada sekutu pengurus (sekutu komplementer, sekutu aktif). Sedangkan unsur tambahan pada CV yang berbeda dengan Fa adalan pada munculnya sekutu diam (sekutu komanditer, sekutu pasif). Sekutu diam (sleeping partner) ini tidak dikenal Pada Fa. Kelebihan CV justru pada adanya sekutu diam tersebut, CV lebih fleksibel karena tersedianya sarana bagi pemodal untuk berinvestasi di dalam pembentukan CV, sementara yang bersangkutan sendiri tidak perlu bertindak sebagai pengurus, cukup sebagai sekutu diam saja. Pada Fa semua sekutunya merupakan pengurus sama dengan sekutu aktif (active partner) pada CV. Bentuk usaha CV ini merupakan suatu bentuk peralihan yang berada di antara Fa dan PT. Dalam CV terkandung, baik ciri Fa maupun ciri PT. b. Pengaturan CV secara khusus diatur dalam Pasal 19 - 21 KUHD. Sama halnya juga dengan Fa, di samping ketentuan khusus tersebut, berlaku ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata, yaitu tentang persekutuan perdata dan perikatan. c. Pendirian Sama halnya juga dengan Fa, CV adalah persekutuan yang melibatkan lebih dari satu orang pengusaha. Oleh karena itu, pendiriannya harus melalui pembuatan suatu perjanjian pendirian meskipun secara lisan. Pembuatan perjanjian ini tunduk pada aturan hukum perjanjian. Perjanjian inilah yang kemudian didaftarkan dan diumumkan. Setelah pendirian tersebut selesai, pengusaha harus mendaftarkan perusahaan pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan sesuai dengan undang-undang tentang wajib daftar perusahaan dan mengurus berbagai macam perizinan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. d. Tanggung jawab Sebagaimana dijelaskan bahwa di dalam CV ini terdapat dua macam sekutu, yaitu sekutu aktif yang di samping menanamkan modal ke dalam perusahaan juga bertugas mengurus perusahaan dan sekutu pasif atau sekutu diam yang hanya memasukkan modal, tetapi tidak terlibat di dalam pengurusan perusahaan. Akibatnya, terdapat juga dua macam tanggung jawab sekutu CV. Sekutu aktif bertanggung jawab tidak saja terbatas pada kekayaan CV, tetapi juga kekayaan pribadi (kalau diperlukan). Di sini persis sama dengan sekutu pada sebuah Fa. Lain halnya dengan sekutu pasif yang hanya bertanggung jawab terbatas pada modal yang dimasukkan saja. Misalnya, A sebagai sekutu pasif pada CV ABC memasukkan modal Rp 1 juta, maka kalau CV ABC tersebut mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga (katakanlah D) sebesar Rp 10 juta, A hanya wajib menanggung sebesar modal yang telah di investasikannya tersebut saja (yaitu Rp 1 juta). A tidak perlu menambah uang untuk membayar sisa hutang perusahaan tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan B dan C yang merupakan sekutu aktif dalam CV tersebut, yang menyebabkan mereka bertanggung jawab tidak terbatas, baik secara sendiri-sendiri (A atau B) maupun secara bersama-sama (A dan B). Apabila A dan B ini masing-masing memasukan modal Rp 1 juta. Sebagai sekutu aktif mereka masih harus mengorbankan kekayaan pribadi untuk menutupi sisa hutang perusahaan tersebut. e. Berakhir Persekutuan Komanditer Berakhirnya Persekutuan Komanditer boleh dikatakan sama dengan berakhirnya persekutuan Firma, yaitu dianggap bubar apabila : 1. waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, 2. barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai 3. seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia, Dalam prakteknya, pengunduran diri seorang anggota tidak selalu membuat persekutuan komanditer menjadi bubar. Sering kita lihat bahwa seorang anggota persekutuan komanditer yang mundur digantikan oleh orang lain dengan tetap mempertahankan persekutuan yang ada. Pasal 31 KUHD mengatur bahwa pembubaran persekutuan (firma ataupun komanditer) sebelum waktu yang ditentukan (karena pengunduran diri atau pemberhentian) harus dilakukan dengan suatu akte otentik, didaftarkan pada Pengadilan Negeri, dan diumumkan dalam Berita Negara. Apabila hal ini tidak dilakukan maka persekutuan tetap dianggap ada terhadap pihak ketiga. Pasal 32 KUHD mengatur cara penyelesaian pembubaran, yaitu dilakukan atas nama perseroan oleh anggota-anggota yang telah mengurus perseroan, kecuali apabila ditunjuk orang lain dalam akte pendirian atau persetujuan kemudian, atau semua pesero (berdasarkan suara terbanyak) mengangkat seseorang untuk menyelesaikan pembubaran. KUHD tidak mengatur tugas-tugas mereka, hal itu diserahkan kepada para pesero. Pasal 1802 KUHPer mengatur bahwa orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan pembubaran harus mempertanggung jawabkan segala usaha dan hasil-hasilnya kepada para pesero dan berkewajiban mengganti kerugian apabila perseroan menderita kerugian karena perbuatannya. Setelah urusan dengan orang yang ditugaskan ini selesai, maka pembagian kepada para pesero dapat dilakukan. Selama proses pembubaran, persekutuan masih berjalan sehingga proses likuidasi benar-benar selesai. Kelebihan dari likuidasi adalah laba, dan apabila terjadi kekurangan maka itu adalah kerugian. Apabila suatu persekutuan komanditer jatuh pailit, maka seluruh anggotanya pun jatuh pailit karena hutang-hutang persekutuan juga menjadi hutang-hutang mereka yang harus ditannggung sampai dengan kekayaan pribadi, kecuali untuk pesero komanditer, di mana ia hanya menanggung sebatas modal yang telah disetornya. 4. Perseroan Terbatas (PT) a. Pengertian Dalam UU No.1 tahun 1995 tentang PT ditentukan bahwa PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa PT adalah suatu badan hukum. PT berbeda dengan UD, Fa, dan CV yang bukan badan hukum. Sebagai badan hukum dalam PT terdapat pemisahan kekayaan antara milik perusahaan dengan milik pribadi pengusaha. Di samping itu, sebagai badan hukum PT wajib mendapatkan pengesahaan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Bentuk usaha yang bukan badan hukum tidak memiliki kewajiban demikian. Dalam pengertian tersebut juga disebutkan bahwa PT didirikan berdasarkan perjanjian. Maksudnya PT bukanlah perusahaan perorangan seperti UD, tetapi suatu persekutuan sama halnya dengan Fa dan CV didirikan oleh lebih dari satu orang. Untuk mendirikan sebuah PT paling kurang harus terdapat dua orang. Banyaknya orang yang terlibat dalam sebuah PT memungkinkan adanya akumulasi modal yang lebih banyak, yang merupakan ciri PT yang membedakan dengan badan hukum lain. Pada sebuah PT modalnya dibagi ke dalam saham-saham (shares,stocks). Terdapat dua macam PT, yaitu PT tertutup yang disingkat PT merupakan perseroan terbatas yang modalnya dimiliki para pemegang saham yang masih saling mengenal satu sama lainnya. Misalnya anggota keluarga, sahabat, kenalan, dan tetangga yang pendiriannya tunduk pada UUPT. Disamping itu, PT terbuka yang pada nama perusahaannya memakai singkatan PT (pada awal) dan Tbk (pada akhir) nama PT tersebut. Dalam PT terbuka pemegang sahamnya sudah tidak saling mengenal lagi. Bahkan, sampai melintasi batas-batas negara. PT terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pendirian PT terbuka, di samping harus memenuhi ketentuan UUPT dan peraturan pelaksanaannya, juga ketentuan Undang-Undang tentang Pasar Modal (UUPM) dan peraturan pelaksanaannya. PT merupakan bentuk usaha yang paling luwes dan ideal dalam rangka memupuk keuntungan, namun terdapat juga kelemahannya yaitu kemungkinan adanya spekulasi, manipulasi, dan kecerobahan pengelolaan. b. Pengaturan Dahulu PT diatur KUHD, yaitu dalam Pasal 36 - 56. Pengaturan ini tentunya tidak cukup menampung berbagai aspek PT yang sudah demikian berkembang akibat perkembangan perekonomian dan dunia usaha. Oleh karena itu, dikeluarkanlah UUPT untuk menggantikan ketentuan dalam KUHD tersebut. Khusus untuk PT Penanaman Modal Asing disamping UUPT berlaku Undang- Undang tentang Penanaman Modal Asing, karena melibatkan modal nasional dan modal asing. c. Pendirian PT didirikan melalui beberapa tahapan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan di dalam UUPT, sebagai berikut: 1. Pembuatan Akta Notaris Para pengusaha yang ingin mendirikan PT terlebih dahulu datang ke kantor notaris untuk membuat akta pendirian PT. Akta pendirian merupakan suatu perjanjian antara pendirian para pendiri PT tersebut. Isinya ditentukan sendiri oleh para pendiri, yang kemudian dituangkan notaris dalam suatu format khusus yang disediakan untuk itu sesuai dengan UUPT. Akta pendirian PT memuat anggaran dan keterangan lain sekurang-kurangnya : a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri b. Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris yang pertama kali diangkat; dan kewarganegaraan direksi dan komisaris pertama kali diangkat c. Nama pemegamg saham yang telah mengambil begaian saham serta perincian jumlah saham dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian. Sedangkan Anggaran Dasar sendiri sekurang-kurangnya berisi : a. Nama dan tempat kedudukan perseroan b. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sesuai dengan perundang-undang yang berlaku c. Jangka waktu berdirinya perseroan d. Besarnya jumlah modal dasar, modal yang di tempatkan dan modal yang disetor e. Jumlah saham, jumlah klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi hak-hak yang melekat pada setiap saham dan nilai nominal setiap saham f. Susunan, jumlah dan nama anggota direksi dan komisaris g. Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS h. Tata cara pemilihan, pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi dan komisaris i. Tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen j. Ketentuan-ketentuan lain menurut UUPT. 2. Pengesahan Menteri Kehakiman Akta notaris yang telah dibuat tersebut harus mendapatkan pengesahaan Menteri Kehakiman dalam rangka memperoleh status badan hukum. Menteri Kehakiman akan memberikan pengesahan dalam janka waktu paling lama 60 hari setelah diterimanya permohonan pengesahan PT, lengkap dengan lampiran-lampirannya. Jika permohonan di tolak, Menteri Kehakiman memberitahukan kepada pemohon secara tertulis disertai dengan alasannya dalam jangka waktu 60 hari itu juga. 3. Pendaftaran Wajib Akta pendirian/anggaran dasar PT secara lengkap disertai SK pengesahan dari Menteri Kehakiman kemudian wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan paling lambat 30 hari setelah tanggal pengesahan PT atau tanggal diterimanya laporan. 4. Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN) Apabila pendaftaran dalam daftar perusahaan telah dilakukan, berikutnya direksi mengajukan permohonan pengumuman perseroan di dalam TBN dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak pendaftaran tersebut. Pendirian PT telah selesai dengan dilakukannya pengumuman, berikutnya perlu diselesaikan berbagai perizinan sesuai dengan perundang-undangan perizinan yang berlaku, seperti juga pada pendirian bentuk usaha lainnya. d. Tanggung Jawab Pada sebuah PT, pengusahanya adalah para pemegang saham. Para pemegang saham itu bertanggung jawab terbatas sebesar saham yang dimasukkannya ke dalam PT. Tanggung Jawab terbatas demikian sebenarnya tercermin dari nama bentuk usaha PT sendiri, yaitu perseroan terbatas. Kata “terbatas” menunjukkan adanya tanggung jawab pemegang saham yang terbatas pada modal yang dimasukkan. Dalam UUPT ketentuan tanggung jawab terbatas diatur Pasal 3 yang berbunyi : “pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya”. Adanya tanggung jawab terbatas demikian merupakan ketentuan umum, karena UUPT memberikan pengecualiannya dalam hal-hal tertentu. Menurut Pasal 3 ayat (2) UUPT sistem tanggung jawab terbatas tidak berlaku apabila : 1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung ataupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan 4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan. e. Modal dan Saham Dalam sebuah PT terdapat tiga macam modal, yaitu modal dasar, modal yang ditempatkan, dan modal yang disetor. Modal dasar adalah sejumlah maksimum modal yang disebut dalam akta pendirian. Modal yang ditempatkan adalah modal yang disanggupkan oleh para pemegang saham. Dan modal yang disetor adalah modal yang benar-benar telah disetor oleh para pemegang saham dalam kas perseroan . Dalam UUPT ditentukan bahwa modal dasar perseroan paling sedikit Rp 20.000.000,- sementara modal yang ditempatkan adalah 25% dari modal dasar yang harus telah ditempatkan pada saat pendirian perseroan. Berarti 25% x Rp 20.000.000,- = Rp 5.000.000,-. Dan modal yang disetor paling sedikit 50% dari nilai nominal setiap saham yang dikeluarkan. Berarti 50% x Rp 5.000.000,- = Rp 2.500.000,-. Modal PT tersebut terdiri dari saham-saham, baik saham atas nama dan atau atas tunjuk. Saham dapat terdiri dari satu klasifikasi atau lebih. Mungkin saja dalam sebuah PT terdapat bermacam-macam saham, misalnya saham biasa, saham prioritas, dan saham-saham lain dengan hak khusus yang semuanya harus ditetapkan dalam Anggaran Dasar. Pemegang saham biasa berhak untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai perseroan, hak menerima pembagian dividen dan sisa kekayaan dalam proses likuidasi. Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara (one share one vote), kecuali dalam Anggaran Dasar ditentukan lain. f. Organ Perseroan Terbatas PT sebagai subyek hukum pendukung segala hak dan kewajiban tidak dapat bertindak sendiri. Badan hukum menjadi subyek hukum bukan secara alamiah, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat manusia melalui lembaga yang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, PT perlu dilengkapi dengan organ atau alat perlengkapannya supaya dapat berfungsi sebagai subyek hukum seperti manusia. Organ PT tersebut terdiri dari : 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) RUPS merupakan organ PT yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam sebuah PT. RUPS ini terdiri dari para pemegang saham sebagai satu kesatuan. Tentunya di dalam RUPS tersebut terdapat pemegang saham terbanyak (pemegang saham mayoritas) dan pemegang saham yang menguasai saham dalam jumlah kecil sehingga tidak memiliki kekuasaan mayoritas (pemegang saham minoritas). Pemegang saham mayoritas dapat mendominasi keputusan-keputusan RUPS, karena itu UUPT memberikan beberapa pembatasan tertentu untuk melindungi pemegang saham minoritas dalam rangka mewujudkan keadilan. RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UUPT atau Anggaran Dasar. Jadi, kekuasaan RUPS cukup besar, misalnya mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris. 2. Direksi Direksi atau pengurus PT adalah organ yang mengurus PT sehari-hari yang diangkat RUPS. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan terbaik di dalam maupun di luar pengadilan. 3. Komisaris Komisaris atau pengawas PT adalah organ yang bertugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberi nasihat kepada direksi. Komisaris juga diangkat dan bertanggung jawab kepada RUPS. g. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Untuk lebih memberdayakan diri beberapa PT dapat melakukan merger, konsolidasi, dan akuisisi. Banyak alasan yang menyebabkan beberapa PT melakukan demikian, antara lain dalam rangka efisiensi, diversifikasi, kekuatan pasar, keuntungan pajak, dan prestise. Merger (penggabungan perusahaan) Adalah penggabungan dua atau lebih perusahaan ke dalam salah satu di antara perusahaan-perusahaan yang melakukan penggabungan, kemudian perusahaan yang menggabungkan diri berakhir kedudukannya sebagai suatu badan hukum/perusahaan karena dibubarkan dan dilikuidasi, dan yang tinggal adalah perusahaan yang menerima penggabungan. Misalnya, PT A merger dengan PT B, maka tinggal PT A saja atau PT B saja. Konsolidasi (peleburan perusahaan) Adalah peleburan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan yang baru sama sekali, sementara masing-masing perusahaan yang meleburkan diri berakhir kedudukannya sebagai suatu badan hukum/perusahaan. Misalnya PT A berkonsolidasi dengan PT B, maka muncul PT C sebagai nama baru dari PT A+PT B 3. Akuisisi (pengambilalihan perusahaan) Adalah pembelian atau pengambilalihan seluruh atau sebagian saham satu atau lebih perusahaan oleh perusahaan lainnya atau pemilik perusahaan lainnya, tetapi perusahaan yang diambil alih sahamnya tetap hidup sebagai badan hukum/perusahaan, hanya saja kini berada di bawah kontrol perusahaan yang mengambil alih saham-sahamnya. Misalnya PT A mengakuisisikan PT B, maka baik PT A maupun PT B masih tetap ada, namun kontrol perusahaannya sudah beralih kepada PT A sebagai perusahaan pembeli seluruh atau sebagian saham PT B. h. Perusahaan Kelompok Untuk lebih memperkuat diri perusahaan-perusahaan bekerja sama satu sama lainnya dan dapat membentuk perusahaan kelompok (group company/concern), yaitu suatu gabungan atau susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain begitu erat sehingga membentuk suatu satuan ekonomi yang tunduk pada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai pimpinan sentral. Dalam concern tersebut terdapat perusahaan yang mendominasi/melaksanakan pimpinan sentral sebagai perusahaan induk, dan perusahaan yang bergantung pada putusan perusahaan yang dominan sebagai perusahaan anak. i. Pembubaran Perseroan Pembubaran Perseroan dapat dilakukan karena : 1. Keputusan RUPS Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan sah jika keputusan tersebut diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal penggabungan, peleburan, pengambilalihan, kepailitan, dan pembubaran perseroan, bahwa keputusan RUPS sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara tersebut. Perseroan resmi dibubarkan pada saat ditetapkan dalam keputusan RUPS, dan selanjutnya dilikuidasi oleh likuidator. 2. Jangka Waktunya telah Berakhir Jika perseroan bubar karena jangka waktu berdirinya (sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar) telah berakhir, maka Menteri Kehakiman atas permohonan Direksi dapat memperpanjang jangka waktu tersebut. Permohonan tersebut diajukan paling lambat 90 hari sebelum jangka waktu berdirinya perseroan berakhir. Permohonan untuk memperpanjang jangka waktu tersebut hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara tersebut. 3. Penetapan Pengadilan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas : a. Permohonan kejaksaan berdasarkan alasan kuat bahwa perseroan telah melanggar kepentingan umum; b. Permohonan satu orang pemegang saham atau lebih mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah; c. Permohonan kreditor berdasarkan alasan perseroan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit, atau harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut; d. Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian perseroan Dalam hal pembubaran perseroan dengan penetapan pengadilan, ditetapkan pula penunjukan likuidator. Perusahaan Negara 1. Pengertian Perusahaan negara yang sering juga disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah perusahaan yang dimiliki secara mutlak ataupun sebagian besar oleh negara . 2. Pengaturan Pengaturan BUMN di Indonesia terdapat dalam UU No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara. Pengaturan lebih lanjut terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1998. Di dalam undang-undang tersebut ditentukan tiga bentuk usaha negara yaitu : a. Perusahaan Jawatan (Perjan); b. Perusahaan Umum (Perum); dan c. Perusahaan Perseroan (Perseroan). Di luar undang-undang tersebut masih terdapat bentuk-bentuk usaha negara lainnya yang sifatnya khusus, seperti Pertamina yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dan terdapat juga Perusahaan Daerah (PD) yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1962. 3. Pendirian Pendirian sebuah BUMN berbeda dengan pendirian usaha swasta. Di sini peranan pemerintah cukup besar dalam penetapan anggaran dasar perusahaan, tujuan, status keuangan, metode operasi, manajemen dan sebagainya yang disertai dengan tindakan legislatif ataupun eksekutif untuk menyediakan dana sebagai modal perusahaan. Kecuali untuk perjan, BUMN juga harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan wajib daftar perusahaan dan menaati ketentuan perizinan. 4. Klasifikasi a. Perjan Perjan adalah BUMN yang seluruh modalnya terdiri dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Perjan merupakan bagian dari instasi pemerintah tertentu dan pegawainya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk pada perundang-undangan kepegawaian yang berlaku. Oleh karena itu, Perjan bukan merupakan badan hukum. Tujuan Perjan adalah semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak mencari laba (non-commercial corporation). b. Perum Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, Perum merupakan badan hukum publik. Pekerja di Perum merupakan pegawai perusahaan negara yang diatur secara khusus. Perum ini bergerak dalam bidang-bidang usaha tertentu yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pegawai Perum merupakan buruh/pekerja yang tindak pada hukum perburuhan/ ketenaga kerjaan yang berlaku. Jadi, statusnya sama dengan mereka yang bekerja di perusahaan swasta. Tujuan Perum di samping memberikan pelayanan kepada masyarakat banyak juga mencari keuntungan (commercial and social service corporation). Perum adalah badan usaha milik negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 dimana seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Perum didirikan dengan Peraturan Pemerintah yang menetapkan antara lain besarnya kekayaan negara yang dipisahkan untuk penyertaan ke dalam modal Perum dan penunjukan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah. Perum memperoleh status badan hukum setelah peraturan pemerintah pendirian Perum berlaku. Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. c. Persero Persero adalah BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan. Persero merupakan badan hukum swasta yang tunduk pada prinsip-prinsip aturan Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana diatur di dalam UUPT. Pegawai Persero adalah pekerja atau buruh yang tunduk pada perundang-undangan ketenagakerjaan atau perburuhan. Tujuan Persero sama dengan tujuan PT swasta, yaitu mencari laba (commercial corporation). Dalam PP No. 12 Tahun 1998 ditegaskan bahwa terdapat dua macam Persero yaitu Persero dan Persero Terbuka. Persero adalah badan usaha milik negara seluruh atau paling sedikit 51% saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh negara melalui pernyataan modal secara langsung. Sedangkan Persero terbuka adalah Persero yang modalnya dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau persero yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal”. Pengertian modal negara ke dalam modal saham Persero ditetapkan dengan peraturan pemerintah yang memuat maksud penyertaan dan besarnya kekayaan negara yang dipisahkan untuk penyertaan modal tersebut. Koperasi 1. Pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dari definisi tersebut terdapat koperasi yang para anggotanya terdiri dari orang seorang yang disebut koperasi primer dan koperasi yang beranggotakan badan-badan hukum koperasi yang disebut koperasi sekunder. Baik koperasi primer maupun koperasi sekunder merupakan badan hukum. 2. Pengaturan Usaha koperasi (cooperative) diatur dalam UU No. 12 Tahun 1992 tentang Perkoperasiaan. Undang-Undang tersebut dibuat mengacu terutama pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut ditambahkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. 3. Pendirian Untuk mendirikan sebuah koperasi primer dibutuhkan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang sebagai anggota. Dan untuk mendirikan sebuah koperasi sekunder sekurang-kurangnya terdapat tiga koperasi : a. Daftar nama pendiri b. Nama dan tempat kedudukan c. Maksud dan tujuan serta bidang usaha d. Ketentuan mengenai keanggotaan e. Ketentuan mengenai rapat anggota f. Ketentuan mengenai pengelolaan g. Ketentuan mengenai permodalan h. Ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya i. Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha j. Ketentuan mengenai sanksi. Akta pendirian tersebut diperlukan juga untuk mendapatkan pengesahan badan hukum koperasi, yang perlu dimintakan secara tertulis kepada Pemerintah. Untuk mendapatkan pengesahan status badan hukum koperasi, para pendiri mengajukan permintaan tertulis disertai atau pendirian koperasi. Pengesahaan tersebut diberikan dalam jangka waktu tiga waktu tiga bulan setelah diterimanya permintaan pengesahaan. Jangka waktu yang sama juga diberikan kepada pemerintah untuk memberitahukan secara tertulis kepada pendiri koperasi apabila terjadi penolakan. Selanjutnya pengesahan pemerintah tersebut diumumkan dalam Berita Negara. Dan sama halnya juga dengan bentuk usaha lainnya koperasi harus didaftarkan sesuai dengan undang-undang wajib daftar perusahaan dan diurus berbagai perizinan operasional usaha. 4. Perangkat Organisasi Perangkat organisasi koperasi terdiri dari rapat anggota, pengurus, dan pengawas. Rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam koperasi yang bertugas menetapkan antara lain anggaran dasar, pengurus dan pengawas, rencana kerja, dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU). Keputusan rapat anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat atau apabila tidak berhasil berdasarkan suara terbanyak. Dalam pemungutan suara setiap anggota mempunyai satu suara. Sedangkan hak suara pada koperasi sekunder diatur dalam anggaran dasarnya. Rapat anggota dilakukan paling sedikit sekali dalam setahun. Pengawas dipilih dari/dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota untuk masa jabatan 5 tahun. Pengurus bertugas antara lain mengelola koperasi dan usahanya, mengajukan rancangan kerja serta rancangan anggaran pendapatan dan belanja koperasi, dan menyelenggarakan pembukuan, laporan keuangan, dan rapat anggota. Apabila diperlukan untuk pengelolaan usaha sehari-hari pengurus dapat menyangkut pengelola berdasarkan hubungan kerja atas dasar perikatan dan bertanggung jawab kepada pengurus. Pengangkatan pengelola demikian perlu mendapatkan persetujuan rapat anggota. Pengawas juga dipilih dari/dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota yang tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi dan membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Untuk itu, pengawas berwenang meneliti catatan yang ada pada koperasi dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan. Di samping itu, pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga. Bagi seorang wirausaha (entrepreneur ) atau yang lebih beken disebut pengusaha, mengembangkan sebuah usaha adalah mutlak untuk kemajuan perusahaan dan usahanya. Sebab seperti layaknya roda kehidupan yang semakin lama semakin cepat berputar demikian pula sebuah usaha. Sehingga bagi pengusaha yang sudah establish tentunya menginginkan perkembangan usahanya. Namun terkadang perkembangan atau kemajuan usaha itu tidak dibarengi dengan kemampuan modal. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan franchaise . Franchaise diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai waralaba. Yaitu perusahaan atau seseorang (franchisee) yang diberikan hak untuk menggunakan merek, cipta, paten untuk menyalurkan produk/ jasa pihak franchisor) dengan memberikan imbalan (fee) Di Indonesia aturan tentang Waralaba diatur didalam Peraturan Pemerintah No 16 tahun 1997 Pasal 1 dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa waralaba adalah perikatan/ perjanjian dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain. Dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa sebuah waralaba adalah suatu perbuatan untuk melakukan perikatan/ perjanjian. Sedangkan perjanjian atau perikatan diatur dalam KUH Perdata buku III tentang perikatan pasal 1313 tentang perjanjian, pasal 1320, tentang sahnya perjanjian, dan ketentuan pasal 1338 akibat persetujuan. Penggunaan sistem waralaba bagi produk asing juga berpatokan dengan PP tersebut , Sedangkan bentuk perjanjian tidak baku bersifat dibawah tangan sehingga tidak wajib diketahui oleh notaris sepanjang tidak bertentangan Undang-undang (Pasal 1 ayat 2)dan ditulis dalam bahasa Indonesia ( Pasal 2 ayat 1 dan 2) Selanjutnya pemberi waralaba sebelum mengadakan perjanjian dengan penerima waralaba diwajibkan untuk memberikan keterangan mengenai kegiatan usaha, menerangkan hak atas HAKI, hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang harus dipenuhi, pengakhiran, pembatalan atau perpanjangan perjanjian. Keterangan-keterangan berikut perjanjian tersebut harus didaftarkan di Deperindag ( Departemen Perindustrian dan perdagangan ) oleh penerima waralaba selambatnya 30 hari sejak berlakunya perjanjian waralaba, bila tidak maka SIUP ( Surat Ijin Usaha Perdagangan) nya bisa dicabut.(Pasal 8). Menteri Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan SK no.259/ MP/ Kep/7/1997 Sebagai Peraturan Pelaksana yang mengatur antara lain tentang waktu lamanya perjanjian dan diutamakan untuk menggunakan produk barang dan atau bahan dalam negeri sepanjang mutu barang dan atau bahan itu sesuai yang diperjanjikan di dalam akta perjanjian tersebut. Didalam UU Merek no 15 tahun 2000 tidak mengatur secara khusus tentang waralaba, hanya pada pasal 43 ayat 1 yang menyebutkan pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak untuk memakai merek tersebut dengan perjanjian dan wajib didaftarkan di daftarkan ke direrktorat Jenderal HAKI Jadi bagi para pencari produk waralaba (franchise) telah dilindungi oleh peraturan-peraturan tersebut , Tetapi yang terpenting juga harus hati-hati dalam pencarian tersebut. Karena tidak jarang suatu produk baru yang sedang booming lalu tiba-tiba mencoba dengan sistem franchaise tapi tanpa menggunakan aturan yang jelas sehingga merugikan investor . Hal ini bisa berujung pada tindakan pelanggaran hukum. Perjanjian atau  HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Kontrak" \o "Kontrak" µkontrak§ adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak  HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berjanji&action=editredlink" \o "Berjanji (not yet written)" µberjanji§ kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313  HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Undang-undang_Hukum_Perdata_Indonesia&action=editredlink" \o "Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (not yet written)" µKitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia§). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu  HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang" \o "Undang-undang" µundang-undang§ bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Franchise : Perikatan HaKI yang Diperluas
Iman Sjahputra Nama bukan saja sebagai aset, tetapi juga mempunyai nilai jual tinggi. Sehingga tidak mengherankan suatu nama (brand image) bisa bernilai miliaran dolar. Tengok omzet franchising Mc Donald's yang bertebaran di seluruh dunia. Konon, di tahun 2000 saja angka penjualan mencapai lebih dari 40 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dari 29 ribu outlet yang tersebar. Perkembangannya membuat kaget Pemerintah AS dan dalam praktiknya diduga banyak penyimpangan konsep-konsep franchise, akhirnya tahun 1979 Pemerintah AS mengeluarkan Franchise Disclosure Act. Lantas bagaimana konsep franchise di Indonesia" Dalam Direktori Franchise Indonesia, diprakarsai Asosiasi Franchise Indonesia. Franchise di Indonesia dikenal dengan sebutan waralaba. Mulai dikenal sekitar 1970 dengan masuknya Kentucky Fried Chicken, Ice cream Swensen, Shakey Pizza, yang kemudian disusul dengan Burger King dan Seven Eleven. Sesungguhnya Indonesia sudah pula mengenal konsep franchise sebagaimana yang diterapkan penyebaran toko sepatu Bata ataupun SPBU (pompa bensin). Pengertian franchise (waralaba) selalu diartikan berbeda dengan lisensi. Padahal, intinya hampir sama. Dalam praktik lisensi (licensing) diartikan lebih sempit, yakni perusahaan atau seseorang (licencor) yang memberi hak kepada pihak tertentu (licensee) untuk memakai merek/hak cipta/paten (Hak milik kekayaan intelektual) untuk memproduksi atau menyalurkan produk/jasa pihak licencor. Imbalannya licensee membayar fee. Lisencor tak mencampuri urusan manajemen dan pemasaran pihak licensee. Misalnya, perusahaan Mattel Inc yang memiliki hak karakter Barbie (boneka anak-anak) di AS memberikan hak lisensi kepada perusahaan mainan di Indonesia dalam memproduksi. Adalah Fisseha-Tsion Menghistu dalam disertasinya di Universitas van Amsterdam tahun 1988 mendefinisakan,"Although licensing is an ambiguous term, it is defined roughly as an agreement or a contract by which the licensor or a proprietor of the technology or intellectual property extends to the licensee a limited right to make use of, among other things, a patent, know-how, trademark and other items as may be agreed between the licensor and the licensee." Waralaba Sebaliknya, waralaba dimaknai lebih luas, yaitu pemberi waralaba tidak hanya memperkenankan penerima waralaba untuk memakai merek/logo/hak ciptanya, akan tetapi turut pula mengatur internal perusahaan. Baik mengenai karyawan, pelatihan, lokasi, bahan baku hingga strategi pemasarannya. Jaringan Mc Donald's di seluruh dunia adalah paling cocok untuk contoh. Berbagai pelayanan serta strategi pemasaran dari Mc Donald's sama, baik didalam negeri maupun luar negeri. Perkembangan waralaba di Indonesia pada saat itu semakin hari bertambah subur, baik asing maupun lokal, seperti: Es teler, Hoka-hoka Bento, Total buah segar, restoran bebek bali, papa ron's pizza. Di negeri ini awalnya tak ada aturan hukum yang mengatur perjanjian waralaba. Baru di tahun 1997 terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) No 16 tahun 1997 tentang Waralaba. Pasal 1 PP ini menyatakan: Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa waralaba merupakan suatu perikatan/perjanjian antara dua pihak. Sebagai perjanjian dapat dipastikan semua ketentuan dalam hukum perdata (KUHPerdata) tentang perjanjian (Pasal 1313), sahnya perjanjian (Pasal 1320) dan ketentuan Pasal 1338. Dengan demikian, apabila pihak pewaralaba pihak asing, sedangkan terwaralaba adalah Indonesia, maka perjanjiannya terikat pada PP No 16 tahun 1997 tentang Waralaba. Bagaimana format perjanjian waralaba" Apakah bentuknya harus otentik dalam akta notaris" PP No 16 tahun 1997 tak menjelaskannya. Hanya saja dalam PP ditentukan, perjanjian waralaba dibuat tertulis dalam bahasa Indonesia (Pasal 2 Ayat 1 dan 2). Dapat disimpulkan, perjanjian waralaba tak perlu dalam bentuk akta notaris. Para pihak dapat membuat sendiri - di bawah tangan - dengan mengikuti ketentuan KUHPerdata. Selanjutnya PP ini mewajibkan pemberi waralaba - sebelum mengadakan perjanjian dengan penerima waralaba - memberikan keterangan menyangkut kegiatan usahanya, hak atas Haki-nya, hak dan kewajiban masing-masing pihak, persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba, pengakhiran perjanjian, pembatalan dan perpanjangan perjanjian (Pasal 3 Ayat 1). Keterangan-keterangan berikut perjanjian waralaba tersebut harus didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh penerima waralaba paling lambat 30 hari sejak berlakunya perjanjian waralaba. Bila tak dilakukan, maka pencabutan izin usaha perdagangan (SIUP) dapat dilakukan (Pasal 8). Sebagai pelaksana PP, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan menerbitkan keputusan No: 259/ MPP/Kep/7/1997 yang antara lain mengatur tentang jangka waktu perjanjian waralaba. Selain itu, disyaratkan pula untuk mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa sesuai perjanjian waralaba. Dalam Undang-Undang Merek No 15 tahun 2001 sendiri tidak diatur secara khusus tentang waralaba. Hanya dalam Pasal 43 Ayat (1) dikatakan, pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk memakai merek tersebut dengan perjanjian dan wajib didaftarkan ke Direktorat Jenderal Haki. Tetapi sangat disayangkan bagaimana tata cara permohonan pencatatan lisensi dan kententuan mengenai perjanjian lisensi tersebut sampai saat ini belum ada Keputusan Presiden (Keppres) sebagaimana diamanatkan Pasal 49 UU tentang Merek itu.