Sabtu, 03 Desember 2011

PRINSIP-PRINSIP DALAM HUKUM KEPAILITAN


Menurut Black, prinsip diartikan sebagai “a fundamental truth or doctrine, as of  law;  a  comprehensive  rule  or  doctrine  wgich  furnishes  a  basis  or  origin  for others”.  Menurut  Satjipto  Rahardjo,  prinsip  hukum  dinyatakan  sebagai  jantung peraturan  hukum  dan  merupakan  landasan  yang  paling  luas  bagi  lahirnya  suatu peraturan hukum.
Prinsip-prinsip hukum di dalam hukum kepailitab diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat/belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana  keberadaanya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu
:

a.   Prinsip Paritas Creditorium

Prinsip  paritas  creditorium  (kesetaraan  kedudukan  para  kreditor) menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor.1
Prinsip    paritas    creditorium    mengandung   makna    bahwa    semua

kekayaan  debitor  baik  yang  berupa  barang  bergerak  ataupun  barang  tidak bergerak  maupun  harta  yang  sekarang  telah  dipunyai  debitor  dan  barang- barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.2
Adapun   filosofi   dari   prinsip   paritas   creditorium   adalah   bahwa
merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang       debitor terhadap             para         kreditornya          tidak              terbayarkan.                Hukum memberikan  jaminan  umum  bahwa  harta  kekayaan  debitor  demi  hukum




1 Mahadi, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 135.
2 M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 27-28.

menjadi jaminan terhadap utang-utangnya, meski harta tersebut tidak terkait langsung dengan utang-utangnya.3
Menurut  Kartini  Muljadi,  peraturan  kepailitan  di  dalam  Undang- Undang Kepailitan adalah penjabaran dari Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek. Hal ini dikarenakan :
a.   Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya,

b.   Debitor  tetap  pemilik  kekayaannya  dan  merupakan  pihak  yang  berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau mengagunkannya,
c.   Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.4

Namun demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena      hal                   ini               akan menimbulkan   ketidakadilan           berikutnya.           Letak ketidakadilan tersebut adalah para kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor  dengan  kreditor  lainnya.  Prinsip  ini  tidak  membedakan  perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar maupun kecil, pemegang    jaminan,    atau    bukan   pemegang    jaminan.    Oleh    karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip
pari passu pro rata parte dan prinsip structured creditors.5

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailiatan yang menerapkan prinsip   paritas   creditorium maka   di   dalam   Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan sebelum Tahun 1998) tidak menganut prinsip paritas creditorium.6   Di      dalam              Pasal 1          Peraturan         Kepailitan/ Faillissementsverordening  menyatakan  bahwa  setiap  debitor  yang  tidak mampu  membayar  kembali  utang  tersebut  baik  atas  permintaan  sendiri
maupun atas permintaan seorang kreditor atau lebih, dapat diadakan putusan







3 Ibid, hlm. 28.
4 Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A. Lontoh,  et.al,  Penyelesaian  Utang  Piutang  Melalui  Pailit  atau  Penundaan  Kewajiban  Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 300.
5 M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 29.
6 Ibid, hlm. 73.

oleh  hakim  yang  menyatakan  bahwa  debitor  yang  bersangkutan  dalam keadaan pailit.7
Ketentuan    tersebut,    tersurat     bahwa    pernyataan     pailit     hanya memerlukan dua syarat saja, yaitu debitor harus berada dalam keadaan telah berhenti membayar, dan harus ada permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang kreditor atau lebih.8
Ketentuan di dalam Faillissementsverordening yang tidak menganut

prinsip  paritas  creditorium  merupakan  kelalaian  pembuat  undang-undang. Pentingnya  prinsip  paritas  creditorium  untuk  dianut  di  dalam  peraturan kepailitan   adalah   sebagai   pranata   hukum   untuk   menghindari   unlawful execution  akibat  berebutnya  para  kreditor  untuk  memperoleh  pembayaran piutangnya dari debitor dimana hal itu akan merugikan baik debitor sendiri
maupun kreditor yang datang terakhir atau kreditor yang lemah.9



b.  Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte

Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang                menurut                        undang-undang         harus    didahulukan            dalam        menerima
pembayaran tagihannya.10

Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan  proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata.11
Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang
memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran


7 Ibid, hlm. 73-74.
8 Ibid, hlm. 74.
9 Ibid.
10 Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masin dibandingkan  terhadap  piutang  mereka  secara  keseluruhan  terhadap  seluruh  harta kekayaan debitor.

piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.12  Adapun pengaturan mengenai prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4) dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.13







c.   Prinsip Structured Pro Rata

Prinsip  structured  pro  rata  atau  yang  disebut  juga  dengan  istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan keluar/keadilan diantara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip  yang  mengklasifikasikan  dan  mengelompokkan  berbagai  macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan   menjadi   tiga   macam,   yaitu   kreditor   separatis,   kreditor
preferen, dan kreditor konkuren.14

Menurut Jerry Hoff, pembagian kreditor di dalam hukum kepailitan dijabarkan sebagai berikut :15
1.   Secured Creditors






12 Ibid.
13  Pasal 189 ayat (4) dan (5) Undang-Undang  Nomor  37 Tahun 2004 tentang  Kepailitan  dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi : (4)  Pembayaran kepada kreditor :
a.               Yang    mempunyai    ha yang    didahulukan,    termasuk    didalamnya    yang    hak istimewanya dibantah; dan
b.               Pemegang  gadai,  jaminan  fidusia,  hak  tanggungan,  hipotek,  atau  hak  agunan  atas kebendaan  lainnya,  sejauh  mereka  tidak  dibayar  menurut  ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka
(5 Dalam  hal  hasil  penjualan  benda-benda  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4)  tidak mencukupi  untuk  membayar  seluruh  piutang  kreditor  yang  didahulukan,  maka  untuk kekurangannya mereka berkedudukan sebagai kreditor konkuren.
Di  dalam  Penjelasan  Pasal  176  huruf  a  Undang-Undan Nomor  37  Tahun  2004  tentang
Kepailitan  dan Penundaan  Kewajiban  Pembayaran  Utang berbuny bahwa : “yang dimaksud dengan pro rata adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing.
14 Pembagian  atau pengklasifikasian  kreditor di dalam kepailitan ini dapat dilihat dalam Sutan
Remy Sjahdeini, op.cit., hlm. 280, dan dapat dilihat pula dalam Jono, op.cit., hlm. 5-10.

Right of secured creditors, security interests are in rem right that vest in the creditor by agreement and subsequent performance of certain formalities. A creditor whose interests are secured by in rem  right  is  usually  entitled  to  cause  the  foreclosure  of  the collateral  without  a  judgement,  to  satisfy  his  claim  from  the proceeds  with  priority  over  the  other  creditors.  This  right  to foreclosure without a jugdementis called the right of immediate enforcement.
2.   Preferred Creditors

The   preferred   creditors   have    preference   to   their   claim,. Obviously, the preference issue is only relevant if there is more than one creditor and if the assets of the debtor are not sufficient to pay  of  all  the  creditors  (there  is  a  concursus  creditorum). Preferred creditor are required to present their claims to the the receiver for verification and are thereby charged a pro rata parte share of costs of the bankruptcy. There are several categories of preferred   creditors    creditors   who   have   statutory   priority, creditors who have non-statutory priority, and estate creditors.
3.   Unsecured Creditors

The unsecured creditors do not have priority and will therefore be paid, if any poceeds of the bankruptcy estate remain, after all trhe other creditors have received payment. Unsecured creditors are required to present their claims for verification to their receiver and they are charged a pro rata parte share of the costs of the bankruptcy.


Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja, melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor  separatis)  dan  kreditor  yang  menurut  ketentuan  hukum  harus

didahulukan (kreditor preferen).16 Ketiga kreditor ini diakui eksistensinya dan bahkan di dalam undang-undang kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan terhadap  hak  kreditor  separatis  dan  kreditor  preferen  untuk  mengajukan kepailitan.


d.  Prinsip Debt Collection

Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.17
Menurut Tri Hernowo, kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaaan dan pemerasan. Sedangkan menurut Emmy Yuhassarie, hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, yang berarti tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-lomba secara sendiri-sendiri  mengklaim  aset  debitor  untuk  kepentingan  masing-masing. Oleh  karenanya,  hukum  kepailitan  mengatasi  apa  yang  disebut  dengan collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu masing-
masing kreditor.18

Fred  BG.  Tumbuan  menyatakan  bahwa  di  dalam  sistem  hukum Kepailitan Belanda, penerapan prinsip debt collection sangat ditekankan. Hal ini disitir Fred BG Tumbuan dari Professor Mr. B. Wessels dari bukunya yaitu Faillietverklaring. Di dalam buku tersebut menyatakan bahwa sehubungan dengan pemohonan pernyataan pailit perlu kiranya diingat bahwa baik sita jaminan (conservatoir beslaglegging) maupun permohonan pernyataan pailit adalah         prosedur          penagihan                 yang             tidak               lazim      (oineigenlijke
incassoprocedures).  Dinamakan  “tidak  lazim”  karena  kedua  upaya  hukum







16 Ibid, hlm. 33.
17 Zaman dahulu, prinsip ini dimanifestasikan  dalam bentuk perbudakan, pemotongan  sebagian tubuh  debitor  (mutilation),  dan  pencincangan  tubuh  debitor  (dismemberment) Sedangkan  hukum kepailitan  modern  menekanka prinsip  ini  antara  lain  dalam  bentuk  likuidasi  aset.  Sutan  Reny Sjahdeini, op.cit., hlm. 38.

tersebut disediakan sebagai “sarana tekanan” (pressie middle) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh debitor.19
Berkaitan dengan penggunaan permohonan pernyataan pailit sebagai sarana untuk menekan atau memaksa debitor memenuhi kewajibannya. Di negeri Belanda, terdapat perlindungan yang layak bagi debitor, yaitu :20
a.   Pemohon pernyataan pailit harus mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang) dalam permohonan pernyataan pailit. Syarat “kepentingan wajar” bersumber pada keadah hukum “tanpa kepentingan, tidak ada hak gugat” (geen  belang,  geen  actie).  Kaedah  hukum  ini  dinyatakan  secara  jelas dalam Pasal 3 : 303 BW Belanda (Netherland Burgerlijk Wetboek) yag berbunyi : “zonder voldoende belang kamt niemand een rechtvordering toe”  (hanya  orang  yang  mempunyai  kepentingan  yang  cukup  berhak mengajukan gugatan hukum).
Kaedah hukum ini menegaskan bahwa “kepentingan yang cukup” adalah kepentingan       yang                        seimbang                 dan    oleh     karenanya     membenarkan diajukannya gugatan hukum (evenredigheidscriterium).
b.   Hak   untuk   mengajukan   permohonan   pernyataan   pailit   tidak   boleh disalahgunakan.  Larangan  ini  bersumber  pada  kaedah  hukum  bahwa penyalahgunaan wewenang (misbruik van bevoegheid) tidak dibenarkan. Kaedah hukum tersebut ditegaskan di dalam Pasal 3 : 13 (1) BW Belanda yang  berbunyi  :  “degene  aan  een  bevoegheid  toekomt,  kom  haar  niet inroepen, voor zoverhij haar misbruikt” (orang yang mempunyai suatu kewenangan  tidak  dapat  menggunakan  kewenangan  tersebut  sejauh  ia menyalahgunakannya).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa segenap harta kekayaan debitor adalah menjadi jaminan terhadap utang dari para kreditor. Letak prinsip debt
collction di dalam kepailitan yaitu berfungsi sebagai sarana pemaksa untuk





19  Fred BG Tumbuan,  “Komentar  Atas Catatan  Terhadap  Putusan  No : 14 K/N/2004  jo No :
18/Pailit/P.Niaga/Jkt.Pst dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan  Pada pengadilan
Negeri Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta, 2005, hlm. 11.

merealisasikan  hak-hak  kreditor  melalui  proses  likuidasi  terhadap  harta kekayaan debitor.21







Menurut Setiawan, peraturan kepailitan pada prinsipnya adalah debt collection law dan bahwa kepailitan merupkan suatu aksi kolektif (collective action) dalam debt collection. Douglas G. Bird menyatakan bahwa hukum kepailitan bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective proceeding.22
Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa

utang dari debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad buruk dari debitor dengan cara menyembunyikan  dan  menyelewengkan  terhadap  segenap  harta  bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya.23
Manifestasi  dari  prinsip  debt  collection  di  dalam  kepailitan  adalah

ketentuan untuk melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang cepat dan  pasti,  prinsip  pembuktian  sederhana,  diterapkannya  putusan  kepailitan secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad), adanya ketentuan masa tunggu (stay)  bagi  pemegang  jaminan  kebendaan,  dan  kurator  sebagai  pelaksana
pengurusan dan pemberesan.24
Berkaitan  dengan  peraturan  atau  hukum  kepailitan  yang  ada  di Indonesia, di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) undang-undang kepailitan sangat memegang teguh bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt collection. Persyaratan dipailitkan hanya berupa dua syarat kumulatif, yakni debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih yang belum  dibayar  lunas,  serta  memiliki  dua  atau  lebih  kreditor.2 Di  dalam undang-undang           kepailitan           tersebut                            tidak           mensyaratkan      adanya              jumlah


21 M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 39.
22 Ibid, hlm. 40.
23 Ibid, hlm. 41.
24 Ibid.
25 Lihat ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

minimum utang tertentu atau disyaratkannya keadaan insolven dimana harta kekayaan  debitor  (aktiva)  lebih  kecil  daripada  utang-utang  yang  dimiliki (pasiva). Prinsip debt collection di dalam undang-undang kepailitan Indonesia lebih              mengarah kepada          kemudahan     umntuk            melakukan            permohonan
kepailitan.26

Implementasi  dari  prinsip  debt  collection  juga  terdapat  di  dalam konsep mengenai sita umum harta kekayaan si pailit. Akan tetapi hal-hal yang berkaitan dengan konsep sita umum ini telah mengalami pergeseran makna dalam  konteks  hukum  kepailitan.  Hal  ini  terbukti  dari  adanya  sanksi kehilangan hak keperdataan tertentu, antara lain diatur di dalam Pasal 79 ayat (3) juncto Pasal 96 Undang-Undang Perseroan Terbatas, Pasal 45 ayat (1) dan Pasal  57  ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor  19  Tahun  2003  tentang  Badan
Usaha Milik Negara.27

Dari  hal  diatas  dapat  diketahui  bahwa  ketentuan-ketentuan  yang berkait  dengan  kepailitan  berakibat  hukum  kepailitan  mengalami  distorsi dimana seharusnya kepailitan hanya berkaitan dengan harta kekayaan subyek hukum saja, tetapi pada kenyataannya mencakup pula hak-hak keperdataan lainnya dan bahkan hak-hak publik.28


e.   Prinsip Utang
Di  dalam  proses  beracara  dalam  hukum  kepailitan,  konsep  utang menjadi sangat penting dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang,  maka  esensi  kepailitan  tidak  ada  karena  kepailitan  adalah  pranata hukum  untuk  melakukan  likuidasi  aset  debitor  untuk  membayar  utang- utangnya terhadap para kreditornya.29
Dalam  kepailitan  Amerika  Serikat,  utang  disebut  dengan  “claim”, sedangkan dalam bankruptcy law secara umum, utang debitor disebut dengan


26 M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 81-82.
27 Ibid, hlm. 84-85.
28 Ibid, hlm. 84.
29 Ibid, hlm. 34.

“debt”, dan piutang atau tagihan kreditor disebut dengan istilah “claim”.30

Robert L. Jordan mengartikan “claim” dengan definisi :

1.   right  to  payment  whether  or  nor  such  right  is  reduced  to jugdement,  liquidated,  unliquidated,  fixed,  contingent,  matured, unmatured,   disputed,   undisputed,   legal,   equitable,   secure   or unsecured; or
2.   right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise to a right to payment, wether or not such right to an equitable remedy is reduced to judgemen, ftixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, secured, unsecured.31


Sedang menurut Ned Waxman, dibedakan definisi antara claim dan debt. Menurutnya, “claim is a right to payment even if it is unliquidated, unmatured, disputed, or contingent”. Di dalam claim ini meliputi pula “right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise to right to payment”. Debt sendiri diartikan sebagai “a debt is defined as liability on a claim”.32
Dengan  melihat  definisi  dari  seluruh  kewajiban  (obligations),  hal

tersebut tidak menunjukkan adanya seluruh liputan kewajiban yang ada pada debitor.  Claim  menurut  Bankruptcy  Code  Amerika  Serikat,  mengharuskan adanya  right  to  payment.  Right  to  payment  ini  merupakan  suatu  claim sekalipun     berbentuk         contingent,              unliquidated,    dan      unmatured.                   Suatu contingent claim adalah :
“one  which  the  debtor  will  be  called  upon  to  pay  only  upon  the occurrence or happening of an extrinsicevent which will trigger the
liability of the debtor to the alleged creditor and if triggering event or






30 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm. 89 dan M. Hadi Subhan, loc.cit.
31  Lihat  ketentuan  Bankruptcy  Code  USA  dalam  Sutan  Remy  Sjahdeini,  “Pengertian  Utang dalam Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17, Januari, 2002, hlm. 32-33, dan M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 34.
32 Ibid, hlm. 34-35.

occurrence  was  one  reasonably  contemplated  by  the  debtor  and creditor at the time the event giving rise to the claim occurred.33


Menurut    Jordan,    Warren,    dan    Bussel,    sekalipun    suatu    claim didefinisikan sebagai right to payment, hak tersebut tidak perlu merupakan hak yang telah ada sekarang untuk menerima sejumlah uang (a present right to receive            money).          Dengan         demikian          menurut           definisi               tersebut, apabila kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu right to payment maka kewajiban debitor tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu claim.34
Pada saat diundangkannya Section 101 (5), Congress Amerika Serikat

melakukan  revisi  terhadap  definisi  claim  sehingga  menjadi  lebih  luas pengertiannya dibandingkan dengan Bankruptcy Law sebelumnya. Di dalam ketentuan  sebelumnya,  claim  harus  memenuhi  “proved”  dan  “allowed”. Namun  setelah  dilakukan  revisi,  maka  claim  yang  dimaksud  di  dalam Bankruptcy   Code   adalah   tetap   harus   “allowed” Claim   ini   dianggap “allowed” apabila claim tersebut telah diakui validitasnya oleh pengadilan menurut jumlah tersebut (has been recognized by the court as valid in the
amount claim).35





f.    Prinsip Debt Pooling

Prinsip  debt  pooling  merupakan  prinsip  yang  mengatur  bagaimana harta kekayaan paiit harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian  aset  tersebut,  kurator  akan  berpegang  pada  prinsip  paritas creditorium   dan   prinsip   pari   passu   pro   rata   parte   serta   pembagian
berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle).36

Black menjelaskan debt pooling sebagai :




33 Sutan Remy Sjahdeini, “Pengertian …….”, op. cit., hlm. 33.
34 Ibid.
35 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hlm. 106.
36 M. Hadi Subhan, op.cit., hlm. 41.



“Arrangement by which debtor adjusts many debts by distributing his

assets among several creditor, who mat or may not agree to take less than is owed; or and arrangement by which debtor agree to pay in regular installments a sum of money to one creditor who agrees to discharge all his debt”.37


Emmy Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjustment sebagai suatu aspek  dalam  hukum  kepailitan  yang  dimaksudkan  untuk  mengubah  hal distribusi  dari  para  kreditor  sebagai  suatu  grup.  Dalam  perkembangannya prinsip ini mencakup pengaturan dalam sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara kreditornya.38
Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan

sifat-sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik  kepailitan  sebagai  penagihan  yang  tidak  lazim  (oineigenlijke incassoprocedures),  pengadilan  yang  khusus  menangani  kepailitan  dengan kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam kepailitan, terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara
yang spesifik.39





















37 Ibid, hlm. 41-42.
38 Ibid, hlm. 42.
39 Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar