Minggu, 04 Desember 2011

PERDATA "WARIS"

BAB II
2.1 Hukum waris menurut BW
Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hokum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan. Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu :
“Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn1
Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu :
  1. ada seseorang yang meninggal dunia;
ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn2 Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn3 Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
  1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;
Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;
Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa system hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hokum waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.
2.2 Warisan dalam sistem hukum waris BW
Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar hak mereka yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
  1. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seoranganggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
  1. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) BW, yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn4 Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu:
“Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.”
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya.
Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum adat jika seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah harta, harta peninggalan tersebut senantiasa ditentukan dahulu, mana yang termasuk harta asal yang dibawa salah satu pihak ketika menikah dan mana yang termasuk harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh bersama suami-istri selama dalam perkawinan. Sedangkan sistem BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan sebaliknya yaitu harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.
2.3 Pewaris dan dasar hukum mewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
  1. menurut ketentuan undang-undang;
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah “suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn6 Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.
2.4 Ahli waris menurut sistem BW
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
  1. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;
Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggiderajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli Waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.
Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahliwaris yang manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris menurut surat wasiat?
Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam BW tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “legitime portie”http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn7 ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas maupun dalam garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, R. Subekti, mengemukakan dalam bukunya, bahwa “peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testamen menurut sekehendak hatinya sendiri”.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn8
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:
    1. Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW);
Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hokum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris;
Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan secara beneficiaire”,http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn9 yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu:
  1. Menerima warisan dengan penuh;
Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah ”menerima warisan secara beneficiaire”;
Menolak warisan.
Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara beneficiaire atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai beberapa kewajiban yaitu:
a) wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat bulan setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri;
b) wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya;
c) wajib membereskan urusan waris dengan segera;
d) wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur benda bergerak maupun kreditur pemegang hipotik;
e) wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh kreditur pewaris, maupun kepada orang-orang yang menerima pemberian secara “legaat”;
f) wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar resmi.
Pengertian Legaathttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftn10R. Subekti, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata” menerangkan pengertian legaat yaitu suatu pemberian kepada seseorang yang bukan ahli waris melalui surat wasiat, berupa :
1) satu atau beberapa benda tertentu;
2) seluruh benda dari satu macam atau satu jenis, misalnya memberikan seluruh benda bergerak;
3) hak memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan;
4) sesuatu hak lain terhadap harta peninggalan.
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia bukan ahli waris maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris, ia hanya mempunyai hak untuk menuntut legaat yang diberikan kepadanya.
2.5 Bagian masing-masing ahli waris menurut BW
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
a. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b. Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c. Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudarasaudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :
- 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama;
- ½ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga;
- ¾ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.
- ½ dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersamasama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di luar nikah bukan ¾, sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang lahir di luar nikah akan memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pancer ayah dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½ bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya.
Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekeluargaannya, menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah untuk hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).
2.6 Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian warisan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik negara.
2.7 Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan
Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian, yaitu sebagai berikut:
a. seorang ahli warais yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya mencoba membunuh pewaris;
b. seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih;
c. ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d. seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
BAB III
3.1 Penutup
Dengan adanya aturan-aturan yang telah di nukilkan di dalam KUH-Perdata mengenai hal waris, maka kita dapat menjadikannya sebagai acuan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa waris yang terjadi.
Namun bila KUH-Perdata tidak dapat menyelesaikan sengketa waris tersebut, maka dapat di gunakan alternative lain yaitu dengan menggunakan referensi Hukum Agama ataupun Hukum Adat.
Seperti yang telah di papar kan di atas, terdapat beberapa golongan orang yang berhak mendapatkan waris (ahli waris). Dan setiap golongan menutup golongan yang lain. Dengan artian, golongan pertama menutup hak waris golongan kedua dan begitu seterusnya.
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga bisa menjadi bahan bacaan yang bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi kepada proses pembelajaran kita semua.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftnref4 Lihat R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1977, h. 79.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftnref7 Legitime portie, yaitu: suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Lihat, R. Subekti, Op. Cit., h. 93.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=900787657861238974 - _ftnref9Akibat terpenting dari menerima warisan secara beneficiaire adalah bahwa kewajiban
si waris untuk melunasi hutang-hutangnya dan beban-beban lainnya dibatasi
sedemikian rupa bahwa pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan,
sehingga si waris itu tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang itu dengan
kekayaan sendiri. Lihat R. Subekti, Op. Cit., h. 85-86.

BAGIAN 1
Ketentuan-ketentuan Umum
830. Pewarisan hanya terjadi karena kematian.
831. Bila beberapa orang, yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, memnggal karena suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama, dan terjadi peralihan warisan dan yang seorang kepada yang lainnya.
832. Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.
Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.
833. Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Bila ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti tersebut di atas, maka Hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan itu ditaruh lebih dahulu dalam penyimpanan Pengadilan.
Negara harus berusaha agar dirinya ditempatkan pada kedudukan besit oleh Hakim, dan berkewajiban untuk memerintahkan penyegelan harta peninggalan itu, dan memerintahkan pembuatan perincian harta itu, dalam bentuk yang ditetapkan untuk penerimaan warisan dengan hak istimewa akan pemerincian harta, dengan ancaman untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.
834. Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya.
Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.
835. Tuntutan itu menjadi lewat waktu dengan Iewatnya waktu tiga puluh tahun, terhitung dan hari terbukanya warisan itu.
836. Agar dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang har-us sudah ada pada saat warisan itu dibuka, dengan mengindahkan ketentuan dalam Pasal 2 kitab undang-undang ini.
837. Bila suatu warisan yang terdiri atas barang-barang, yang sebagian ada di Indonesia, dan sebagian ada di luar negeri, harus dibagi antara orang-orang asing yang bukan penduduk maupun warga negara Indonesia di satu pihak dan beberapa warga negara Indonesia di pihak lain, maka yang tersebut terakhir mengambil lebih dahulu suatu jumlah yang sebanding menurut ukuran hak warisan mereka, dengan harga barang-barang yang karena undang-undang dan kebiasaan di luar negeri, mereka tak dapat memperoleh hak milik atasnya.
Jumlah harga itu diambil terlebih dahulu dan barang harta peninggalan yang tidak mendapat halangan seperti yang dimaksud di atas.
838. Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:
1°. dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu;
2°. dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
3°. dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya;
4. dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu.
839. Ahli waris yang tidak mungkin untuk mendapat warisan karena tidak pantas, wajib mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak terbukanya warisan itu.
840. Bila anak-anak dan orang telah dinyatakan tidak pantas menjadi ahli waris merasa dirinya menjadi ahli waris, maka mereka tidak dikecualikan dan pewarisan karena kesalahan orangtua mereka; tetapi orangtua ini sekali-kali tidak berhak menuntut hak pakai hasil atas harta peninggalan yang menurut undang-undang hak nikmat hasilnya diberikan kepada orangtua.
841. Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.
842. Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hat, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
843. Tidak ada penggantian terhadap keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas. Keluarga sedarah terdekat dalam kedua garis itu setiap waktu menyampingkan semua keluarga yang ada dalam derajat yang lebih jauh.
844. Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan orang yang meninggal, baik jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama dengan paman-paman atau bibi-bibi mereka, maupun jika warisan itu, setelah meninggalnya semua saudara yang meninggal, harus dibagi di antara semua keturunan mereka, yang satu sama larnnya bertalian keluarga dalam derajat yang tidak sama.
845. Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan dalam garis ke samping, bila di samping orang yang terdekat dalam hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan mereka yang tersebut pertama.
846. Dalam segala hal, bila penggantian diperkenankan, pembagian dilakukan pancang demi pancang; bila suatu pancang mempunyai beberapa cabang, maka pembagian lebih lanjut dalam tiap-tiap cabang dilakukan pancang demi pancang pula, sedangkan antara orang-orang dalam cabang yang sama, pembagian dilakukan kepala demi kepala.
847. Tak seorang pun boleh menggantikan orang yang masih hidup.
848. Anak tidak memperoleh hak dan orangtuanya untuk mewakili mereka, tetapi seseorang dapat mewakili orang yang tak mau menerima harta peninggalannya.
849. Undang-undang tidak memperhatikan sifat atau asal usul barang-barang harta peninggalan, untuk mengadakan peraturan tentang pewarisannya.
850. Semua warisan, baik yang seluruhnya maupun sebagian jatuh pada giliran pembagian untuk keluarga dalam garis ke atas atau garis ke samping, harus dibelah menjadi dua bagian yang sama; belahan yang satu dibagikan kepada keluarga sedarah dan garis ayah yang masih ada, dan belahan yang lain kepada garis ibu yang masih ada, tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Pasal 854 dan 859.
Warisan itu tidak boleh beralih dan garis yang satu ke garis yang lain, kecuali bila dalam salah satu dan kedua garis itu tidak ada seorang pun keluarga sedarah, baik dalam garis ke atas maupun dalam garis ke samping.
851. Setelah pembagian pertama dalam garis bapak dan garis ibu dilaksanakan, maka tidak usah diadakan pembagian lebih lanjut dalam berbagai cabangnya, tetapi tanpa mengurangi hal-hal bila harus berlangsung suatu penggantian, bagian yang jatuh pada masing-masing garis, menjadi bagian ahli waris atau para ahli waris yang terdekat derajatnya dengan orang yang meninggal.

BAGIAN 2
Pewarisan Para Keluarga Sedarah yang Sah dan Suami atau Isteri yang Hidup Terlama
852. Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.
Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.
852a. Dalam hal warisan dan seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih dahulu, suami atau isteri yang ditinggal mati, dalam menerapkan ketentuan-ketentuan bab ini, disamakan dengan seorang anak sah dan orang yang meninggal, dengan pengertian bahwa bila perkawinan suami isteri itu adalah perkawinan kedua atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan-keturunan anak-anak itu, suami atau isteri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dan bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak itu, atau oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris.
Bila untuk kebahagiaan suami atau isteri dan perkawinan kedua atau pekawinan yang berikutnya telah dikeluarkan wasiat, maka bila jumlah bagian yang diperoleh dan pewarisan pada kematian dan bagian yang diperoleh dan wasiat melampaui batas-batas dan jumlah termaktub dalam alinea pertama, bagian dan pewarisan pada kematian harus dikurangi sedemikian, sehingga jumlah bersama itu tetap berada dalam batas-batas itu. Bila penetapan wasiat itu, seluruhnya atau sebagian, terdiri dan hak pakai hasil, maka harga dan hak pakai hasil itu harus ditaksir, dan jumlah bersama termaksud dalam alinea yang lalu harus dihitung berdasarkan harga yang ditaksir itu.
Apa yang dinikmati suami atau isteri yang berikut menurut pasal ini harus dikurangkan dalam menghitung apa yang boleh diperoleh suami atau isteri itu atau diperjanjikan menurut Bab VIII Buku Pertama.
852b. Bila suami atau isteri yang hidup terlama membagi warisan dengan orang-orang lain yang bukan anak-anak atau keturunan-keturunan lebih lanjut dan perkawinan yang dahulu, maka ia berwenang untuk mengambil bagi dirinya sebagian atau seluruhnya perabot rumah tangga.
Sejauh perabot rumah ini termasuk harta peninggalan pewaris, maka harganya harus dikurangkan dan bagian warisan suami atau isteri itu. Bila harganya melebihi harga bagian warisannya, maka selisihnya harus dibayar lebih dahulu kepada para sesama ahli waris.
853. Bila yang meninggal itu tidak meninggalkan keturunan, suami atau isteri, saudara laki-laki atau perempuan, maka harta peninggalannya harus dibagi dua sama besar, satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ayah ke atas, dan satu bagian lagi untuk keluarga garis lurus ibu ke atas, tanpa mengurangi ketentuan Pasal 859. Keluarga yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat separuh dari bagian yang diperuntukkan bagi garisnya, dengan mengesampingkan semua hali waris lainnya. Keluarga sedarah dalam garis ke atas dan derajat yang sama, memperoleh wanisan kepala demi kepala.
854. Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian. Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian.
855. Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, dan bapak atau ibunya telah meninggal lebih dahulu daripada dia, maka bapaknya atau ibunya yang hidup terlama mendapat separuh dan harta peninggalannya, bila yang mati itu meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan hanya satu orang saja; sepertiga, bila saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan dua orang; seperempat bagian, bila saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan lebih dan dua. Sisanya menjadi bagian saudara laki-laki dan perempuan tersebut.
856. Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan seorang keturunan ataupun suami dan isteri, sedangkan bapak dan ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka saudara laki-laki dan perempuan mewarisi seluruh warisannya.
857. Pembagian dan apa yang menurut pasal-pasal tersebut di atas menjadi bagian saudara perempuan dan laki-laki, dilakukan antara mereka menurut bagian-bagian yang sama, bila mereka berasal dan perkawinan yang sama; bila mereka dilahirkan dan berbagai perkawinan, maka apa yang mereka warisi harus dibagi menjadi dua bagian yang sama, antara garis bapak dengan garis ibu dan orang dan orang yang meninggal itu; saudara-saudara sebapak seibu memperoleh bagian mereka dan kedua garis, dan yang sebapak saja atau yang seibu saja hanya dan garis di mana mereka termasuk. Bila hanya ada saudara tiri laki-laki atau perempuan dan salah satu garis saja, mereka mendapat seluruh harta peninggalan, dengan mengesampingkan semua keluarga sedarah lainnya dan garis yang lain.
858. Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka separuh harta peninggalan itu menjadi bagian dan keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis ke samping dan garis ke atas lainnya, kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut.
Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas, maka keluarga sedarah terdekat dalam tiap-tiap garis ke samping masing-masing mendapat warisan separuhnya.
Bila dalam satu garis ke samping terdapat beberapa keluarga sedarah dalam derajat yang sama, maka mereka berbagi antara mereka kepala demi kepala tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 845.
859. Bapak atau ibu yang hidup terlama mewarisi seluruh harta peninggalan anaknya yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan, suami atau isteri, saudara laki-laki atau perempuan.
860. Sebutan saudara laki-laki dan saudara perempuan yang terdapat dalam bagian ini, selalu mencakup juga keturunan sah mereka masing-masing.
861. Keluarga-keluarga sedarah yang hubungannya dengan yang meninggal dunia itu lebih jauh dan derajat keenam dalam garis ke samping, tidak mendapat warisan. Bila dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang mengizinkan untuk mendapat warisan, maka keluarga-keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan.

BAGIAN 3
Pewarisan Bila Ada Anak-anak di Luar Kawin
862. Bila yang meninggal dunia meninggalkan anak-anak di luar kawin yang telah diakui secara sah menurut undang-undang, maka harta peninggalannya dibagi dengan cara yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut.
863. Bila yang meninggal itu meninggalkan keturunan sah menurut undang-undang atau suami atau isteri, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi sepertiga dan bagian yang sedianya mereka terima, seandainya mereka adalah anak-anak sah menurut undang-undang; mereka mewarisi separuh dan harta peninggalan, bila yang meninggal itu tidak meninggalkan keturunan,suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas, atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan-keturunan mereka, dan tiga perempat bila hanya tinggal keluarga sedarah yang masih hidup dalam derajat yang lebih jauh lagi.
Bila para ahli waris yang sah menurut undang-undang bertalian dengan yang meninggal dalam derajat-derajat yang tidak sama, maka yang terdekat derajatnya dalam garis yang satu, menentukan besarnya bagian yang harus diberikan kepada anak di luar kawin itu, bahkan terhadap mereka yang ada dalam garis yang lain.
864. Dalam segala ha! yang termaksud dalam pasal yang lalu, sisa harta peninggalan itu harus dibagi di antara para ahli waris yang sah menurut undang-undang dengan cara yang ditentukan dalam Bagian 2 bab ini.
865. Bila yang meninggal itu tidak meninggalkan ahli waris yang sah menurut undang-undang, maka anak-anak di luar kawin itu mewarisi harta peninggalan itu seluruhnya.
866. Bila anak di luar kawin itu meninggal lebih dahulu, maka anak-anaknya dan keturunan yang sah menurut undang-undang berhak menuntut keuntungan-keuntungan yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 dan 865.
867. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas mi tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah. Undang-undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka.
868. Nafkah itu diatur sesuai dengan kemampuan bapak atau ibu atau menurut jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah menurut undang-undang.
869. Bila bapaknya atau ibunya sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah, maka anak itu tidak mempunyai hak lebih lanjut untuk menuntut warisan dan bapak atau ibunya.
870. Warisan anak di luar kawin yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, jatuh ke tangan bapaknya atau ibunya yang telah memberi pengakuan kepadanya, atau kepada mereka berdua, masing-masing separuh, bila dia telah diakui oleh kedua-duanya.
871. Dalam hal anak luar kawin meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, sedangkan kedua orangtuanya telah meninggal Iebih dahulu, maka barang-barang yang telah diperolehnya dan harta peninggalan orangtuanya bila masih berwujud harta peninggalan, jatuh kembali ke tangan keturunan sah bapaknya atau ibunya; hal mi berlaku juga terhadap hak-hak yang meninggal untuk menuntut kembali sesuatu seandainya sesuatu itu telah dijual dan harga pembeliannya masih terutang.
Semua barang selebihnya diwarisi oleh saudara laki-laki atau perempuan anak di luar kawin itu, atau oleh keturunan mereka yang sah menurut undang-undang.
872. Undang-undang tidak memberikan hak apa pun kepada anak di luar kawin atas barang-barang dan keluarga sedarah kedua orangtuanya, kecuali dalam hal tercantum dalam pasal berikut.
873. Bila salah seorang dan keluarga sedarah tersebut meninggal dunia tanpa meninggalkan keluarga sedarah dalam derajat yang diperkenankan mendapat warisan dan tanpa meninggalkan suami atau isteri, maka anak di luar kawin yang diakui berhak menuntut seluruh warisan untuk diri sendiri dengan mengesampingkan negara.
Bila anak di luar kawin itu meninggal juga tanpa meninggalkan keturunan, suami atau isteri yang hidup terlama, orangtua, saudara laki-laki atau perempuan di luar kawin atau keturunan mereka ini, maka harta peninggalan anak di luar kawin itu menjadi hak keluarga sedarah terdekat dan bapak atau ibu yang telah memberikan pengakuan kepadanya, dengan mengesampingkan negara bila keduanya telah mengakuinya maka separuh dan harta peninggalannya itu menjadi hak keluarga sedarah bapaknya, dan yang separuh lagi menjadi hak keluarga sedarah ibunya.
Pembagian dalam kedua garis dilakukan menurut peraturan mengenai pewarisan biasa.

Penerimaan dan Penolakan Harta Peninggalan Dalam Hukum Waris Perdata

Menurut undang-undang Belanda, pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk mewaris baik karena undang-undang maupun atas kekuatan sebuah surat wasiat. Hal ini berarti tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak dapat mewaris. Kesempatan mewaris ini pada umumnya diterima oleh para ahlinya baik dengan tegas maupun diam-diam tanpa terlintas di benaknya pikiran-pikiran yang menuju ke arah negatif mengenai harta peninggalan tersebut. Tetapi pada kenyataannya juga ada sebagian orang yang seharusnya mempunyai hak mewaris tidak mau menerima hak warisnya karena suatu hal tertentu yang menyebabkan mereka harus berfikir dan menganggap perlu meneliti keadaan harta peninggalan sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya.
Masalah penerimaan dan penolakan ini tentunya telah diatur dalam undang-undang yang mana di sana dijelaskan hal-hal diantaranya mengenai penerimaan murni, penerimaan warisan dengan hak istimewa pengadaan pendaftaran Budel, penolakan warisan, hak memikir, dan sebagainya, yang kesemuanya ini sangat perlu dikaji untuk mencapai puncak kefahaman terhadap hukum waris perdata.
Ada hal-hal penting yang harus dibahas mengenai masalah yang berhubungan dengan penerimaan dan penolakan harta warisan. Maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan :
1. Apa penerimaan murni itu ?
2. Dalam hal apa penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel dilakukan ?
3. Apa hak memikir itu ?
1. Penerimaan Murni
Penerimaan murni adalah penerimaan hak waris oleh ahlinya setelah kematian pewarisnya tanpa adanya penolakan dan hak memikir, baik penerimaan itu dilakukan secara tegas ataupun diam-diam. Akibat dari penerimaan murni ini adalah seseorang menjadi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap bagian warisannya. Biasanya penerimaan warisan ini berlangsung dengan diam-diam yaitu hanya dengan melalui suatu tindakan yang dapat ditafsirkan sebagai penerimaan tanpa ada suatu pernyataan yang terang atas penerimaan warisan tersebut.
Sebagai contohnya adalah apabila seseorang ahli waris membayar hutang pewaris maka ia telah melakukan tindakan yang dapat diartikan sebagai kehendak untuk menerima warisan. Hal ini menurut ajaran kepercayaan (vertrouwensleer) dipandang sebagai suatu tindakan yang sepatutnya dianggap suatu pernyataan kehendak untuk menerima warisan secara diam-diam. Tetapi sebenarnya tindakan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai parameter terhadap adanya kehendak ahli waris untuk menerima bagian warisan atau tidak, karena bisa saja anggapan itu meleset. Misalkan ahli waris tersebut membayar hutang pewaris dengan uangnya sendiri semata-mata karena rasa hormatnya terhadap orang yang meninggal tanpa menginginkan imbalan, juga tanpa ada kehendak untuk mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalannya. Hal ini bisa saja terjadi.
2. Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel
Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel (beneficiare aanvaarding) pada umumnya dianjurkan dalam semua hal dimana yang meninggal dunia menjalankan pekerjaan yang penuh resiko. Sehingga dengan adanya hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel dalam penerimaan warisan secara otomatis akan mewujudkan suatu kewajiban menyusun daftar Budel yang mana nantinya sang ahli waris berkewajiban mengurus barang-barang yang termasuk harta peninggalan dan menyelesai-kan pembagian harta peninggalan pewaris. Jadi ia wajib bertanggung jawab atas pengurusan harta peninggalan tersebut.
Masalah penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel ini diatur dalam pasal 1075 BW. Dengan penerimaan warisan ini maka diterima pulalah akibat-akibat yang terkait dengan kedudukan ahli waris, yaitu :
1) Ahli waris tidak berkewajiban membayar hutang-hutang pewaris selain nilai barang-barang harta peninggalan;
2) Harta peninggalan tetap merupakan harta kekayaan yang dipisahkan walaupun hanya ada satu orang ahli waris yang bertindak.
Pasal 1132 ayat (1) BW mewajibkan para ahli waris dalam garis ke bawah untuk melakukan pemasukan dalam hal diadakan penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel. Seseorang yang belum dewasa juga hanya dapat menerima warisan dengan hak utama mengadakan pendaftaran Budel semata.
3. Hak Memikir
Hak memikir ialah hak diberikan oleh undang-undang kepada ahli waris untuk memikirkan dan meneliti keadaan harta peninggalan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolaknya.
Adapun ahli waris yang ingin memanfaatkan hak memikir tersebut maka harus menempuh langkah-langkah :
1) Mengajukan suatu pernyataan tertulis tentang maksud tersebut kepada Panitera Pengadilan Negeri wilayah di mana harta peninggalan itu berada;
2) Maka selama empat bulan terhitung mulai tanggal diajukannya pernya-taan tersebut pihak yang bersangkutan diberi kesempatan mengadakan inventarisasi harta peninggalan dan melakukan pertimbangan-pertim-bangan. Jangka waktu empat bulan tersebut oleh Hakim dapat diperpanjang lagi karena alasan-alasan yang mendesak (pasal 1071 BW);
3) Setelah jangka waktu empat bulan berlalu maka Hakim menetapkan bahwa pihak yang mempergunakan hak memikir tersebut dapat dipaksa-kan untuk mengambil keputusan.
Keadaan ahli waris pada masa berlangsungnya memanfaatkan hak memikir hanya berkewajiban mengurus harta peninggalan sebagai bapak rumah tangga yang baik dan keahliwarisannya dikatakan sedang tidur. Sedangkan ahli waris yang menggunakan hak memikir kemudian akhirnya dia menolak warisan, maka ia dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (pasal 1104 BW).
4. Penolakan Warisan
Dengan meninggalnya pewaris seseorang bisa menjadi ahli waris. Dengan hak memikir dan penerimaan harta peninggalan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel, kita dapat terhindar dari hal-hal dan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ahli waris enggan menerima kedudukan yang baru saja diperolehnya. Karena pada hakekatnya penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel membawa setumpuk kegiatan dan berbagai syarat yang menyulitkan, meliputi pendaftaran budel, pengurusan harta peninggalan, penyelesaian pembagiannya dan pertanggungjawaban seluruhnya. Ahli waris yang melihat keadaan tersebut dan mempunyai kepastian bahwa harta peninggalan tersebut akan mewujudkan saldo negatif, atau tidak menyukai liku-liku organisasi dan administrasinya, atau juga mungkin karena rasa hormat kepada pewaris, maka ia akan menolak warisan tersebut. Adapun penolakan warisan ini harus dinyatakan secara tegas melalui suatu keterangan tertulis yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Negeri wilayah dimana harta peninggalan tersebut berada.
Undang-undang juga mengenal penolakan warisan dengan diam-diam, hal ini diatur dalam pasal 1101 BW. Setelah lewat tigapuluh tahun kemungkinan untuk menyatakan menerima warisan telah sirna kecuali apabila masih ada warisan tersebut, maka warisan tersebut diterima oleh para hali waris yang diangkat untuk itu atas kekuatan undang-undang atau berdasarkan ketetapan kehendak terakhir.
Akibat dari penolakan warisan perlu dibedakan antara mewaris atas kekuatan undang-undang atau berdasarkan ketetapan kehendak terakhir.
Akibat penolakan warisan yang menyangkut ahli waris karena wasiat dan setelah penolakan warisan, masih ada ahli waris-ahli waris dengan wasiat, maka timbul ke permukaan suatu pertambahan warisan (anwaas), kecuali di dalam wasiat tersebut ada saham-saham. Adapun dalam hal seseorang mewarisi karena kematian, maka selalu terjadi pertambahan warisan.
Sebagai ahli waris, maka tidak dimungkinkan menolak sebagian warisan. seseorang yang menolak warisan sebagai ahli waris dengan wasiat maka ia tidak dapat bertindak sebagai ahli waris karena kematian. Meskipun telah dimuat suatu klausa pergantian tempat para keturunan pihak yang menolak warisan ini tidak bisa bertindak dalam kedudukannya, karena hukum warisan yang berlaku adalah tidak ada pergantian tempat secara hukum waris untuk orang yang masih hidup. Hal seperti ini berlaku sama untuk seorang ahli waris karena kematian yang menolak warisan.
5. Keterangan Hak Waris
Keterangan hak waris adalah suatu kepastian tentang jatidiri (identiteit) ahli waris yang melanjutkan pribadi orang yang meninggal dunia. Keterangan ini berbentuk akte yang mengandung suatu pernyataan yang dibuat oleh Notaris mengenai perwarisan. Sebelum menyusun keterangan tersebut Notaris menandatanganinya, membubuhi cap jabatannya, melakukan penelitian cara pewarisan dan mengusahakan untuk memperoleh wujudnya.
Uraian tentang apa yang menurut hukum disebut dengan keterangan hak waris telah disebutkan dalam undang-undang, antara lain :
1) Keterangan hak waris adalah suatu akte dimana seorang notaris menyebutkan satu atau lebih fakta-fakta berikut :
a. Bahwa orang disebut dalam keterangan hak waris merupakan ahli waris bersama ahli waris yang lain ataukah ahli waris satu-satunya;
b. Bahwa mitra kawin (echtgenoot) pewaris diberikan ataukah tidak diberikan hak pakai hasil (vruchtgebruik) harta peninggalan atau barang yang termasuk di dalamnya;
c. Bahwa pengurusan harta peninggalan diberikan ataukah tidak diberikan kepada pelaksana wasiat, pengurus harta peninggalan atau juru penyelesai harta peninggalan (verefnaar) dengan menyebutkan wewenang-wewenang mereka;
d. Bahwa seorang atau lebih yang ditunjuk sebagai pelaksana wasiat, pengurus harta peninggalan atau juru penyelesai harta peninggalan disebutkan di dalam keterangan hak waris.
2) Dengan algemene maatregel van bestuur dapat ditetapkan berbagai ketentuan mengenai isi dan penyusunan surat keterangan hak waris tersebut.
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik beberapa poin kesimpulan, antara lain :
1. Penerimaan murni adalah penerimaan hak waris oleh ahlinya setelah kematian pewarisnya tanpa adanya penolakan dan hak memikir, baik penerimaan itu dilakukan dengan tegas ataupun diam-diam.
2. Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran budel dianjurkan dalam semua hal dimana yang meninggal dunia menjalankan pekerjaan dengan penuh resiko, sehingga dengan begitu nantinya sang ahli waris berkewajiban mengurus barang-barang yang termasuk harta peninggalan dan menyelesaikan pembagian harta peninggalan pewaris.
3. Hak memikir ialah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada ahli waris untuk memikirkan dan meneliti keadaan harta peninggalan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolaknya.
4. Penolakan warisan adalah keengganan ahli waris untuk menerima bagiannya karena suatu hal, adakalanya karena ia harus menerima warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran budel sehingga ia merasa keberatan dan kesulitan karena harus bertanggung jawab atas pengurusan harta peninggalan atau juga karena rasa hormat kepada pewaris, atau juga karena ia mempunyai kepastian bahwa harta peninggalan tersebut akan mewujudkan saldo yang negatif, dan sebagainya. Sehingga ahli waris tersebut memutuskan untuk menolak warisan yang dinyatakan secara tegas melalui surat keterangan tertulis yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Negeri wilayah dimana harta peninggalan tersebut berada.
5. Keterangan hak waris adalah suatu kepastian jatidiri (identiteit) ahli waris yang melanjutkan pribadi orang yang meninggal dunia yang mana keterangan ini berbentuk akte yang dibuat oleh Notaris mengenai perwarisan.
Referensi :
1. Prof. Mr. M.J.A. Van Mourik, Study Kasus Hukum Waris, PT. Eresco, Bandung, 1993, Cet. I.
2. H.F.A. Vollmar, Pengantar Study Hukum Perdata (terj), Rajawali Press, Jakarta, 1992, Cet. 3
Bagaimana Membagi Waris Menurut KUH Perdata?
Rabu, 28 Mei 2008 | 08:42 WIB
TPGIMAGES
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).

Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.

Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada putusan.

Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Berhak Mendapatkan Warisan
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.

Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).

Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Tidak Berhak Menerimanya
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan
Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.

Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.

Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.

Ayah
Ibu
Pewaris
Saudara
Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
kakek
nenek
kakek
nenek

Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.

Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.


TIP
Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar